Tuesday, 4 June 2013

Jurnalisme Politik, Sebuah Kesadaran Partisan atau Kecerdasan Media

oleh : Rendi Hariwijaya
Baru-baru ini sebuah lembaga berbasis persatuan wartawan, Aliansi Jurnalis Bebas Merdeka, mengadakan pelatihan jurnalistik politik bagi wartawan. Mengingat, agenda politik menjadi agenda rutin yang tak akan berhenti massa waktunya, peran dan fungsi media menjadi sangat vital. media massa ditempatkan sebagai posisi yang potensial dalam setiap agenda politik. Mengingat, fungsi media sendiri sebagai sarana komunikasi massal dan sarana pengawasan. Media, selalu berada ditengah dan menjadi titik persentuhan antara sayap kiri dan sayap kanan (pros and cons). Oleh karena itulah, ide mengenai netralitas media menjadi tema yang dicita-citakan.  Karena, mengkonsiderasi fungsinya sebagai sarana komunikasi massal, maka keberpihakan pada satu golongan minoritas-dominan diharamkan dalam setiap konten pemberitaan yang akan diterbitkan oleh media.
Banyak jenis media yang dewasa ini berkembang. Bila dulu, masyarakat akrab dengan produk konvensional media massa, seperti Koran dan radio. Kini, masyarakat secara luas dapat menikmati kemajuan zaman dan pemanfaatan teknologi media berbasis televisi dan internet. Bahkan, sentralisasi produk media massa tersebut telah terdekonsentrasi oleh beberapa pengembangan seperti jurnalisme warga (citizen journalism) ataupun pers mahasiswa. Sekarang, media massa mengalami tranformasi lokal dalam dirinya.
Sebagai sebuah bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat. Media menjadi figure penting bagi masyarakat yang haus akan informasi. Kehadiran media, tak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kesadaran realitas umum, informasi menjadi gaya hidup manusia modern dalam peradaban manusia (human dignity). Namun, hal ini tentu relevan dengan kualitas dan kapabilitas media atas substansi berita yang disajikan setiap harinya. Media yang kritis, mengedepankan keseimbangan informasi (cover all sides), dan tidak bohong merekapitulasi citra pers itu sendiri di masyarakat. Berbanding terbalik, media partisan, mengusung citra satu orang, dan menerbitkan pemberitaan yang negatif akan ditinggalkan oleh pembaca. Namun, dalam wacana diskursus jurnalisme politik, kemana media akan menempatkan posisinya?
Apa itu Jurnalisme Politik?
Jurnalisme dan politik adalah dua dimensi yang berbeda satu sama lainnya. Secara harafiah keduanya sulit untuk disatukan bila ditinjau secara definitif dan beban kerja (workloads). Namun, secara praksis keduanya melakukan persinggungan satu sama lainnya. Sehingga, wacana diskursus Jurnalisme Politik ini lebih kepada kesadaran media dan politisi akan posisi strategisnya sebagai sebuah simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. David T Hill, professor Murdoch University menaruh antusiasmenya terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia terkhsusus dengan persentuhannya dengan isu media massa. Ia pernah menulis buku berjudul ‘Journalism and Politics in Indonesia : a critical of biography Muchtar Loebis”. Dalam bukunya, David menceriterakan ‘kegaduhan’ Muchtar dalam menentang sentralisasi media yang dilakukan orde baru pada saat itu. Namun, bedanya David dan Wacana Diskursus Jurnalisme Politik, David melalui tokoh dalam bukunya, Muchtar menampilkan plot berupa rivalitas jurnalisme dan politik di Indonesia pada era orde baru yang terkenal mudah membredel media. Sedangkan, dalam wacana diskursus jurnalisme politik pasca era reformasi yang lebih persuasif, hanya mengedepankan sisi keuntungan atas posisi saling ketergantungan.  Namun, penggunaan terminology (use of term) dalam wacana diskursus Jurnalisme Politik ini terkesan bahaya dan melepaskan kesadaran umum masyarakat akan media. Kebingungan inilah yang menjadi intisari tulisan ini mengenai wacana diskursus jurnalisme politik dalam frame kehidupan jurnalistik di Indonesia.
Kecerdasan Media atau Kesadaran Partisan
Responsi media terhadap gejala politik yang terjadi memunculkan dua hipotesa sederhana yang berpengaruh pada konten berita yang akan diterbitkan melalui newsroom redaksi :
(i)                  Kecerdasan Media
Gejala politik yang timbul mau tidak mau akan menjadi pertimbangan pemimpin redaksi ataupun redaktur pelaksana untuk menyajikan informasi yang komprehensif dalam konten pemberitaannya. Namun, perlu diperhatikan dalam hal ini adalah proporsionalitas dan ketelitian media dalam menganalisis figur publik yang akan dimunculkan dalam sajian informasi yang akan diterbitkan. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan seperti spinning doctor ataupun pagar api. Hal ini dilakukan untuk menghindari citra keberpihakan media terhadap satu golongan. Apalagi, asas proporsionalitas ini sangat linear dengan netralitas media. Sebagai contoh, dalam hal peliputan pemilukada suatu daerah di Indonesia, untuk menangkap gejala politik yang ada dan menghindari rendahnya kredibilitas media tersebut di mata masyarakat, maka media secara cerdas tidak melakukan peliputan yang hanya didominasi oleh satu peserta. Dalam hal ini, media harus proporsional memberitakan informasi terkait dengan peserta lainnya dalam pemilukada. Namun, perlu diperhatikan dalam hal proporsionalitas ini, media harus lebih hati-hati terhadap saling counter nya pernyataan masing-masing peserta di media. Sehingga, media bukanlah menjadi sarana pengatur provokasi, tetapi dapat memanajemen konflik yang memungkinkan akan terjadi.
Terkait dengan persoalan metode, media juga harus cerdas untuk menaruh informasi-informasi yang menyangkut peserta pemilukada dalam metode berita straight news atau hardnews. Karena, konsen politik tidak dapat dirangkum oleh berita ringan tetapi harus di-cover oleh materi-materi pemberitaan mendalam dan investigative (indepth reporting). Sehingga, kecerdasan media dalam menangkap gejala politik dalam sebuah konsep pemberitaan dapat ditempatkan secara cerdas sehingga menipiskan harapan timbulnya spekulasi dan provokasi atas konten berita yang ditampilkan.

(ii)                Kesadaran Partisan

Relasi media dan politik tentu menjadi menu keseharian bila anda sering membaca Koran-koran lokal. Ditilik dari pendekatan jurnalisme politik sendiri yang menaruh keuntungan atas ketergantungan. Media kerap menjadi sarana politik praktis politisi dalam kampanyenya. Tak ayal, banyak politisi di Indonesia rata-rata memiliki atau menguasi saham atas media-media nasional. Hal ini relevan dengan fungsi media sebagai sarana komunikasi yang cukup efektif digunakan oleh politisi dalam mengusung pencitraan. Berangkat dari keadaan ini, posisi media kerap berada pada dilemma kesadaran partisan yang dibumbui oleh persoalan kesejahteraan perusahaan media. media tentu hidup dari iklan. Namun, bukan berarti independensinya harus terjual melalui kesadaran partisan akan gejala politik yang ditampilkan. Media tidak seharusnya memberikan ruang yang lebih besar untuk advertorial politisi ketimbang informasi-informasi lain. Untuk itulah diperlukan pagar api. Memang, tidak ada ukuran pasti mengenai pagar api yang proporsional untuk konten berita dan iklan. Setiap perusahaan media menafsirkan sendiri ukuran-ukuran yang tepat. 

No comments:

Post a Comment