oleh : Rendi Hariwijaya
Baru-baru ini sebuah lembaga
berbasis persatuan wartawan, Aliansi Jurnalis Bebas Merdeka, mengadakan
pelatihan jurnalistik politik bagi wartawan. Mengingat, agenda politik menjadi
agenda rutin yang tak akan berhenti massa waktunya, peran dan fungsi media
menjadi sangat vital. media massa ditempatkan sebagai posisi yang potensial
dalam setiap agenda politik. Mengingat, fungsi media sendiri sebagai sarana
komunikasi massal dan sarana pengawasan. Media, selalu berada ditengah dan
menjadi titik persentuhan antara sayap kiri dan sayap kanan (pros and cons). Oleh karena itulah, ide
mengenai netralitas media menjadi tema yang dicita-citakan. Karena, mengkonsiderasi fungsinya sebagai
sarana komunikasi massal, maka keberpihakan pada satu golongan
minoritas-dominan diharamkan dalam setiap konten pemberitaan yang akan
diterbitkan oleh media.
Sebagai sebuah bagian penting
dalam kehidupan bermasyarakat. Media menjadi figure penting bagi masyarakat yang haus akan informasi. Kehadiran
media, tak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kesadaran
realitas umum, informasi menjadi gaya hidup manusia modern dalam peradaban
manusia (human dignity). Namun, hal
ini tentu relevan dengan kualitas dan kapabilitas media atas substansi berita
yang disajikan setiap harinya. Media yang kritis, mengedepankan keseimbangan
informasi (cover all sides), dan
tidak bohong merekapitulasi citra pers itu sendiri di masyarakat. Berbanding
terbalik, media partisan, mengusung citra satu orang, dan menerbitkan
pemberitaan yang negatif akan ditinggalkan oleh pembaca. Namun, dalam wacana
diskursus jurnalisme politik, kemana media akan menempatkan posisinya?
Apa itu Jurnalisme Politik?
Jurnalisme dan politik adalah dua
dimensi yang berbeda satu sama lainnya. Secara harafiah keduanya sulit untuk
disatukan bila ditinjau secara definitif dan beban kerja (workloads). Namun, secara praksis keduanya melakukan persinggungan
satu sama lainnya. Sehingga, wacana diskursus Jurnalisme Politik ini lebih
kepada kesadaran media dan politisi akan posisi strategisnya sebagai sebuah
simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. David T Hill, professor Murdoch
University menaruh antusiasmenya terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia
terkhsusus dengan persentuhannya dengan isu media massa. Ia pernah menulis buku
berjudul ‘Journalism and Politics in
Indonesia : a critical of biography Muchtar Loebis”. Dalam bukunya, David
menceriterakan ‘kegaduhan’ Muchtar dalam menentang sentralisasi media yang
dilakukan orde baru pada saat itu. Namun, bedanya David dan Wacana Diskursus
Jurnalisme Politik, David melalui tokoh dalam bukunya, Muchtar menampilkan plot
berupa rivalitas jurnalisme dan politik di Indonesia pada era orde baru yang
terkenal mudah membredel media. Sedangkan, dalam wacana diskursus jurnalisme
politik pasca era reformasi yang lebih persuasif, hanya mengedepankan sisi
keuntungan atas posisi saling ketergantungan.
Namun, penggunaan terminology (use
of term) dalam wacana diskursus Jurnalisme Politik ini terkesan bahaya dan
melepaskan kesadaran umum masyarakat akan media. Kebingungan inilah yang
menjadi intisari tulisan ini mengenai wacana diskursus jurnalisme politik dalam
frame kehidupan jurnalistik di
Indonesia.
Kecerdasan Media atau Kesadaran Partisan
Responsi media terhadap gejala
politik yang terjadi memunculkan dua hipotesa sederhana yang berpengaruh pada
konten berita yang akan diterbitkan melalui newsroom
redaksi :
(i)
Kecerdasan Media
Gejala politik yang timbul mau tidak mau akan menjadi
pertimbangan pemimpin redaksi ataupun redaktur pelaksana untuk menyajikan
informasi yang komprehensif dalam konten pemberitaannya. Namun, perlu
diperhatikan dalam hal ini adalah proporsionalitas dan ketelitian media dalam
menganalisis figur publik yang akan dimunculkan dalam sajian informasi yang
akan diterbitkan. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan seperti spinning doctor ataupun pagar api. Hal
ini dilakukan untuk menghindari citra keberpihakan media terhadap satu
golongan. Apalagi, asas proporsionalitas ini sangat linear dengan netralitas
media. Sebagai contoh, dalam hal peliputan pemilukada suatu daerah di
Indonesia, untuk menangkap gejala politik yang ada dan menghindari rendahnya
kredibilitas media tersebut di mata masyarakat, maka media secara cerdas tidak
melakukan peliputan yang hanya didominasi oleh satu peserta. Dalam hal ini,
media harus proporsional memberitakan informasi terkait dengan peserta lainnya
dalam pemilukada. Namun, perlu diperhatikan dalam hal proporsionalitas ini,
media harus lebih hati-hati terhadap saling counter
nya pernyataan masing-masing peserta di media. Sehingga, media bukanlah menjadi
sarana pengatur provokasi, tetapi dapat memanajemen konflik yang memungkinkan
akan terjadi.
Terkait dengan persoalan metode, media juga harus
cerdas untuk menaruh informasi-informasi yang menyangkut peserta pemilukada
dalam metode berita straight news atau
hardnews. Karena, konsen politik
tidak dapat dirangkum oleh berita ringan tetapi harus di-cover oleh materi-materi pemberitaan mendalam dan investigative (indepth reporting). Sehingga, kecerdasan
media dalam menangkap gejala politik dalam sebuah konsep pemberitaan dapat
ditempatkan secara cerdas sehingga menipiskan harapan timbulnya spekulasi dan
provokasi atas konten berita yang ditampilkan.
(ii)
Kesadaran Partisan
Relasi media dan politik tentu menjadi menu keseharian bila
anda sering membaca Koran-koran lokal. Ditilik dari pendekatan jurnalisme
politik sendiri yang menaruh keuntungan atas ketergantungan. Media kerap
menjadi sarana politik praktis politisi dalam kampanyenya. Tak ayal, banyak
politisi di Indonesia rata-rata memiliki atau menguasi saham atas media-media
nasional. Hal ini relevan dengan fungsi media sebagai sarana komunikasi yang
cukup efektif digunakan oleh politisi dalam mengusung pencitraan. Berangkat
dari keadaan ini, posisi media kerap berada pada dilemma kesadaran partisan
yang dibumbui oleh persoalan kesejahteraan perusahaan media. media tentu hidup
dari iklan. Namun, bukan berarti independensinya harus terjual melalui kesadaran
partisan akan gejala politik yang ditampilkan. Media tidak seharusnya
memberikan ruang yang lebih besar untuk advertorial politisi ketimbang
informasi-informasi lain. Untuk itulah diperlukan pagar api. Memang, tidak ada
ukuran pasti mengenai pagar api yang proporsional untuk konten berita dan
iklan. Setiap perusahaan media menafsirkan sendiri ukuran-ukuran yang tepat.
No comments:
Post a Comment