![]() |
Gambar diambil melalui Google.com |
Dalam negara-negara yang mengaku menganut sistem demokrasi, proses pergantian kekuasaan dapat dipahami berlangsung secara konstitusional. Dalam arti secara konstitusional, para ahli berpendapat bahwa pergantian kepemimpinan ini berlangsung secara demokratis baik melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat dengan ketentuan berupa pemilihan umum atau dipilih oleh raja dalam perspektif monarki konstitusional. Di Indonesia, proses pemilihan umum boleh dikatakan sudah berlangsung sudah cukup lama. Pemilihan Umum dengan partsipasi partai politik sebagai unsur penting dalam proses pembaharuan negara demokrasi pada saat itu, dilakukan pertama kali pada tahun 1955. Namun, baru pada tahun 2004 pemilihan presiden (Pilpres) baru dapat dipilih secara langsung oleh rakyat melalui model pemilihan umum. rakyat yang sudah memenuhi batas usia hak pilih, diberikan hak untuk memilih kandidat presiden yang sesuai dengan hati nurani.
Dalam rezim pemilihan umum di Indonesia berdasarkan undang-undang pemilihan umum No 8 Tahun 2012, hanya dikenal dua macam jenis pemilihan umum. yakni, pemilihan presiden, pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah. dalam hal inipun, pemilihan kepala daerah hanya sempit mengatur mengenai pemilukada tingkat kabupaten/kota atau Provinsi. Dalam berbagai pilihan dan jenis pentas politik dalam negeri, variasi itu kini bertambah. Persoalan mengenai apabila terjadi sengketa terhadap jenis pemilihan umum yang telah disebutkan diatas sudah jelas ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh dengan langkah-langkah prosedural sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam UU No 24 Tahun 2003 jo UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, dalam Pasal 10 disebutkan bahwa salah satu diantara kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan umum atau yang lebih dikenal dengan PHPU. Dalam aturan tersebut sudah sangat jelas, mengenai kemana proses komplainisasi apabila terjadi indikasi kecurangan dalam proses pemilihan umum. lantas, kemana mekanisme hukum dalam menyelesaikan sengketa pemilihan umum dalam level desa?
Dalam perspektif otonomi daerah, sebagaimana tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004, Indonesia mengakui adanya level pemerintahan pada tingkat bawah yakni pemerintahan desa. bahkan, Peraturan Desa sempat dimasukan dalam undang-undang tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa, eksistensi pemerintahan pada level pedesaan sudah diakomodir dan diakui dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pada peraturan pemerintah No 7 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan bahwa, Kepala Desa sebagai elemen paling esensiil dalam level pemerintahan tingkat desa dapat dipilih melalui mekanisme pemilihan secara langsung (Vide Pasal 44 Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2005 tentang Desa). Demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipasif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Hal ini merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dimana desa berhak dan memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tanggga desa.
Namun, kendati desa sudah diberikan kewenangan yang cukup besar oleh undang-undang, namun proses pemilihan kepala desa (Pilkades) ini menuai kontroversi. makin dinamisnya kondisi masyarakat pedesaan yang sudah mengenal politik, maka rakyat dalam level pedesaan sudah semakin cerdas melihat kondisi yang tidak sesuai fakta dilapangan. Beberapa kasus yang pernah mencuat dimedia, mendorong penulis untuk menulis mengenai kemana proses penyelesaian sengeketa pilkades? Hal ini nampak dari tidak jelasnya pengaturan terhadap sengketa Pilkades. Akibat tidak pastinya definisi mengenai objek sengketa, legal standing, mekanisme penyelesaian, lembaga yang, tentunya akan sangat menyulitkan penyelesaian perkaranya secara hukum. Kepastian hukum yang berarti adanya standar yang sama tersebut harus diterapkan dalam Pilkades. Mulai dari tahap awal hingga akhir. Tidak ada alasan untuk mendiskriminasikan Pilkades, karena desa merupakan bagian struktur pemerintahan yang diakui dalam hukum positif . Demikian seharusnya negara hukum yang menghormati asas equality before the law yang setiap orang tidak hanya harus berlaku sama dalam ketaatan hukum, tetapi juga harus diperlakukan sama oleh hukum itu sendiri, termasuk dalam hal ini masyarakat desa dan Pilkades mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum yang seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan antara pilkades, pileg, dan pilpres yang prosesnya diperlukan standardisasi yang sama sehingga akan lebih mudah dalam menyelesaikan sengketa, apabila terjadi persengketaan.
Dalam tataran normatif peraturan perundang-undangan, tidak disebutkan secara eksplisit mengenai proses atau mekanisme gugatan bila terjadi indikasi kecurangan dalam level pemilihan kepala desa (Pilkades). Bahkan, MK sebagai mekanisme konstitusional dalam menyelenggarakan PHPU tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa pilkades, karena penyelesaian sengketa PHPU yang disebutkan UU adalah Pemilihan Umum yang termasuk dalam rezim UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan, pilkades tidak diatur dalam UU Pemilu namun diatur secara lebih mikro dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2005 tentang Desa. Jadi, persoalan pertama mengenai konstitusionalitas MK dalam menyelesaikan sengketa Pilkades tidak dapat diterima.
Kedua, dalam level pemerintahan artinya executive review. Untuk mekanisme yang kedua ini, sebelumnya pernah terjadi sengketa mengenai Pilkades di Desa Luba, Kecamatan Lembur yang sedang ditangani oleh Bagian Hukum dan HAM pemerintah Kabupatan Alor. Dalam hal ini, perlu diperhatikan apabila tidak ada aturan yang secara eksplisit seperti peraturan daerah atau peraturan gubernur dan lain sebagainya yang mengatur soal penyelesaian sengketa pilkades ini. Maka, para pihak yang bersengketa dapat menolak atau mengajukan nota keberatan karena Eksekutif tidak berwenang untuk menyelesaikan sengekta pilkades. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemkab Alor Bagian Hukum dan HAM seperti pemeriksaan dokumen, verifikasi faktual, boleh jadi dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam menyelesaikan sengketa pilkades secara konstitusional.
Ketiga melalui level pengadilan negeri. Dalam hal ini dapat dikemukakan satu pertanyaan yakni mengenai kompetensi pengadilan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Kewenganan dari Peradilan umum adalah sengketa perkara perdata dan pidana walaupun berlaku asas hakim tidak boleh menolak perkara, akan tetapi asas ini berlaku khususnya apabila datang kepadanya perkara perdata. Ikhwal untuk perkara sengketa Pilkades bukan perkara perdata, dan belum tentu mengandung unsur pidana. Jika mengandung unsur pidana kewenangan peradilan dalam hal ini pengadilan negeri bukan karena perkara itu sengketa Pilkades tetapi karena perbuatan yang diadili memenuhi kriteria dalam hukum pidana. Namun, sebagaimana ditentukan mengenai kewenangan pengadilan negeri bahwa dalam huruf e disebutkan 'seluruh kewenangan yang belum diatur dalam undang-undang lain menjadi kewenangan pengadilan negeri untuk menentukan'. Boleh jadi, interpretasi ini dapat dianalogikan terhadap sengketa pilkades yang tengah terjadi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana proses hukum beracara dalam hal penyelesaian sengketa di pengadilan negeri? Lazimnya perkara yang masuk ke pengadilan negeri, ada majelis hakim yang jumlahnya ganjil (1,3,5 dst), kemudian terdapat Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum dsb. Namun, dalam hal ini sengketa pilkades adalah sengketa yang sifatnya administratif, apa perlu menggunakan JPU? Hal ini tentu menjadi polemik ketika masih belum jelasnya aturan yang mendasari pokok-pokok pilkades sebagai bagian dari rezim pemilihan umum dan otonomi daerah di Indonesia.
No comments:
Post a Comment