BAB I
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Jauh sebelum konsep kewarga negaraan dan kewargaan
Negara digulirkan melalui teori-teori sosial, pergulatan mengenai teori Darwin
tentang evolusi manusia masih terus diperdebatkan. Hasil terakhir terkait
penelitian dan temuan antorpologis mengenai asal muasal perkembangan manusia
sekarang hingga mampu membentuk karakter dan pengembangan dirinya sendiri
sehingga mampu menjalin komunikasi dan berinteraksi sosial, perlahan
dipatahkan. Teori Darwin secara sederhana dapat diuraikan berupa pengalaman
sosial monyet yang begitu pandai yang mampu memimpin peradaban dunia ribuan
tahun yang lalu itu menjadi hipotesis yang banyak diyakini ilmuwan. Hal itu
terwujud dengan bagaimana monyet melakukan pengaturan secara unik dalam menkoordinir
koloni monyet untuk dapat teratur. Kendati, primate ini terkenal dengan
kelincahannya.
Dibangun dari ilustrasi diatas, kendati hipotesis
yang dibangun oleh Charles Darwin mengenai eksistensi monyet sebagai nenek
moyang perlahan dipatahkan. Namun, bangunan ilustrasi diatas merelasikan bentuk
pemahaman mengenai taraf kecerdasan yang diperoleh melalui perkembangan evolusi
dan sejarah yang panjang memengaruhi proses kehidupan bermasyarakat di dunia.
Kondisi ini, memunculkan satu bentuk bangunan
teoritik yang merupakan karya atau hasil pengembangan ilmiah berdasarkan proses
penalaran individu dan pengalaman sosial sehingga terbentuk satu konstruksi
teori sosial. Hal inilah yang barangkali melandasi konsep tumbuh berkembangnya
teori-teori kenegaraan dalam phase staat[1]
. dimana, George Jellineck dalam bukunya Algemeine
Staatslehre menyebutkan bahwa pada fase staat, masyarakat telah sadar dan
tidak bernegara menjadi bernegara dan mereka sadar mereka telah berkelompok.
Konsep perwarganegaraan dan kewarganegaraan sekarang
ini berkembang begitu pesat seiring dengan berkembangan zaman (Cicero; Ubi
Societas Ibi Ius). Seseorang dapat dengan mudah mendapatkan status
kewarganegaraan seiring dengan kesadaran kehidupan bernegara dalam suatu
Negara. Sebagai akibat dari humanity
intervention yang dikeluarkan oleh UNHCR (United Nations High Commissioner
for Refugees Representation) melalui satu mekanisme berupa pemberian suaka.
Dapat pula status kewarganageraan diberikan melalui pemenuhan syarat
administratif yang ditentukan oleh suatu Negara terhadap warga Negara asing
atau eks-warga Negara lokal yang dikondisikan kehilangan kewarganegaraan
seperti korban perang, kejahatan Genosida, dan rasisme.
Tak hanya melalui proses yang bersifat ekstensif,
perubahan kondisi global dan arus informasi dan interaksi sosial yang luar
biasa menyebabkan beberapa indikasi-indikasi sosial yang secara sendirinya
mengubah sebuah perstiwa. Globalisasi memicu satu bentuk arus demografi lintas
kontinen yang luar biasa dalam membentuk peradaban dengan sendirinya. Betapa
tidak, globalisasi seperti sebuah prisma di mana perselisihan besar atas
kondisi manusia kolektif menjadi bias. [2]
Keith Faulks dalam bukunya Citizenship, menyatakan
bahwa kewarganegaraan itu bersifat ambiguasi. Karena, disatu sisi pergulatan
teknis ideology sebuah Negara seperti liberalisme membuat perubahan mendasar
dalam sistem sosial masyarakat yang lebh universal dan egaliter dalam
menekankan statusnya diantara segenap warga Negara. [3]
Karenanya, tingkat originalitas suatu konsep
warganegara yang asli telah mengalami redefinisi seiring dengan semakin
tipisnya batas-batas antar Negara yang mengakibatkan ekslufitas sebuah
komunitas/kelompok masyarakat menjadi deorisinil. [4]
Faulks menambahkan, bahwa eskalasi budaya turut pula memengaruhi pelbagai
peranan dalam suatu kerangka konseptual mengenai bangsa. Artinya,
individualitas dalam batas-batas Negara, hukum warga, buruh migrant atau
pengungsi serta orang-orang asing di luar batas Negara dapat dipersepsikan
sebagai warga Negara namun dalam konseptualitas yang gradual. [5]
This meant that individuals within state boundaries, legal residents, guest workers, refugees, as well as a foreigners outside state boundaries, can be perceived as ‘Outsider’ second class citizen by the dominant culture of the polity.” Keith Faulks-Citizenship
2.
Rumusan
Permasalahan
Makin maraknya kasus yang menimpa sebagian besar
masyarakat keturunan yang tinggal di Indonesia mengenai status dan identitas
kewarganegaraan yang diembannya membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya seperti
apa konsep orang bangsa Indonesia asli sehingga membuat sebagian besar
masyarakat yang besar dan lahir Indonesia karena dianggap berasal dari ras
tertentu maka diidentifikasikan sebagai bukan masyarakat pribumi. Kendati,
Belanda pada saat masa kolonialisasi dulu membagi status hukum dan penggolongan
hukum dalam Pasal 131 IS dan 163 IS.
Namun, apapun itu perlu diketahui dulu sebetulnya
apa maksud konsep warganegara asli menurut yurisdiksi hukum nasional yang kini
tertuang dalam UU No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. seiring dengan
maraknya kasus diskriminasi sosial Apakah orientasi konsep warganegara
Indonesia asli itu merupakan formulasi dalam kategori antroplogis atau yang
bersifat yuridis. sehingga refleksi atas sebuah klaim-klaim orang bangsa
Indonesia asli itu dapat benar-benar dijawab kendati masih dalam tahap
pengembangan dan hipotesis yang sederhana.
BAB II
Pembahasan
1.
Historiografi
Perkembangan Suatu Bangsa
Perkembangan suatu Negara tidak terlepas dari
perkembangan secara geografis dan antorpologis suatu kelompok masyarakat. hal
ini seiring dengan konsep terjadinya suatu Negara yang dipaparkan dalam George
Jelineck dalam bukunya Algemeine
Staatslehre, bahwa suatu Negara mengalami evolusi dalam empat fase hingga
mampu membentuk dirinya sendiri sebagai Negara. dalam teorinya Jelineck membagi
secara kategoris mengenai terjadinya Negara secara primer dan sekunder. Keempat
fase tersebut merupakan 1) Fase perseketuan manusia, 2) Fase Kerajaan, 3) Fase
Negara, 4) Fase Negara Demokrasi dan Diktatur. [6]
Jauh sebelum bangsa Indonesia mengklaim dirinya
sebagai orang warganegara Indonesia asli, banyak arkeolog berpendapat bahwa
leluhur nenek moyang Indonesia berasal dari Madagaskar. Prof. Naniek H
Wibisono, dalam seminar yang diselenggarakan Lembaga Eijkman dan sejumlah
lembaga ilmiah seperti Massey University, University of Arizona dan Universitie
de Toulouse itu tampak dari benda-benda bersejarah bangsa Indonesia. [7]
Hal senada juga dikatakan oleh Prof. Herawati Sudoyo
yang melakukan studi genetis. Penelitian Herawati melihat marka genetik DNA
Mitokondria juga menunjukan sampel 2.745 sampel nenek moyang Madagaskar,
sebanyak diantaranya 300 perempuan Indonesia. Skala fragmen perkembangan demografi suatu
Negara tentu memicu suatu penelitian empirik untuk menentukan klasifikasi
kelompok masyarakat asli sehingga tidak terjadi disparitas makna yang berkumpul
dalam ranah yang sempit. [8]
Para ahli meyakini bahwa orang bangsa Indonesia asli
yang kini menjadi perhatian sebagian komponen masyarakat merupakan konklusi
atas sebuah sejarah panjang dalam membentuk sendiri peradaban yang sampai
sekarang kita kenal. menurut Fischer, seorang antropolog, kelompok Melayu Tua
dating ke Indonesia lebih dahulu dari kelompok Melayu Muda, yakni sekitar tahun
1000 SM. Pada awalnya para migrant pendahulu itu menempati pantai-pantai atau
pulau-pulau di Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat. Oleh karena
terdesak kelompok Melayu Muda yang datang sekitar tahun 500 SM, orang-orang
Melayu Tua terus masuk ke pedalaman dan terisolasi sehingga mundurlah peradaban
mereka. mereka itu yang kemudian menjadi suku batak, dayak, dan toraja. [9]
Selain itu, beberapa pakar antropologis dunia
menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia. Hal ini didukung
dengan bukti-bukti penggunaan bahasa. Bahasa-bahasa yang digunakan di
Indonesia, Polynesia, dan Melanesia adalah berasal dari satu pohon akar bahasa
yang sama yakni Austronesia. [10]
Sehingga memunculkan hipotesis sederhana bahwa konsep orang bangsa Indonesia
asli yang diklaim ‘Seorang Indonesia’ adalah hasil atas sosialisasi yang
panjang mengenai asimilasi budaya secara biologis dan sosiologis.
2.
Konsep
Warganegara
Warga Negara merupakan hal yang tak terpisahkan dari
berdirinya suatu bangsa. Tanpa adanya warga Negara atau populasi yang tetap
sulit bagi suatu Negara untuk dapat ditetapkan sebagai Negara. Sedangkan,
fungsi Negara itu sendiri secara umum adalah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Sebagaimana, kita melihat pendirian Negara Indonesia yang bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana mungkin, suatu Negara dengan segala
konsep Negara dan fungsi pendiriannya yang ditujukan untuk mensejahterakan
rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa namun tidak ada subjek yang dituju
sebagai objek pengaturan.
Hal ini justeru diperkuat dengan konvensi
Moentevideo 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara yang sebenarnya hanya
merupakan konvensi regional kawasan Amerika, senantiasa dijadikan rujukan struktural
bagi proses nation and state building
kapan suatu entitas politik dapat dikatakan sebagai suatu Negara. Pasal 1
Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa karakteristik Negara harus memenuhi
empat unsur sebagai berikut [11]:
1. Memiliki
a Defined
Teritory
2. Memiliki
a permanent population
3. Memiliki
Pemerintahan
4. Memiliki
kemampuan untuk melakukan hubungan internasional dengan Negara lain.
Berdasarkan pemahaman yang dipaparkan melalui
konvensi Montevideo 1933 tersebut konsep Negara jelas tidak terpisahkan dari
adanya suatu bangsa yang bertransformasi sebagai warga Negara sebagai suatu
komponen entitas politis yang memutualisasikan suatu ko-eksistensi sosial
sebagai ihwal implementasi adanya Negara.
Sedangkan, pengertian warga Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002)
adalah penduduk sebuah Negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat
kelahiran, dan sebagainya, yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai
seorang warga dari Negara itu. Sementara Dr. A.S Hikam (2000) mendefinisikan
warga Negara (Citizenship) adalah
anggota sebuah komunitas yang membentuk itu sendiri.
Secara yuridis, konsep warga Negara yang ditetapkan
melalui amanat Undang-undang Dasar 1945 dan UU No 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan adalah warga suatu Negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan kewarganegaraan merupakan segala hal ihwal yang
berkaitan dengan warga Negara. [12]
Selain itu, dalam UUD 1945 Pasal 26 ayat (1) pengertian warga Negara ditetapkan
sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disyahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara. [13] selain
itu, proses penetapan kategorisasi warga Negara pun telah mengalami
lebih lanjut, konsep mengenai warga Negara Indonesia
yang ditetapkan melalui UU No 12 Tahun 2006 sendiri menyematkan pemahaman
‘warga Negara Indonesia asli’ dalam UU No 12 Tahun 2006. Sehingga memunculkan
adanya wacana ‘warga Negara Indonesia tidak asli’ dalam rentang pemikiran
hukum. lantas, seperti apa konsep warga Negara Indonesia asli yang ditetapkan
dalam UU No 12 Tahun 2006?
Berdasarkan penjelasan atas UU No 12 Tahun 2006,
pembentuk undang-undang memberikan limitasi terhadap konsep mengenai warga
Negara Indonesia asli itu sendiri. Penjelasan pasal 2 menjelaskan bahwa warga
Negara Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warga Negara
Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas
kehendaknya sendiri.
Jadi jelaslah bahwa, legal concept mengenai konsep orang Indonesia asli menurut
ketentuan UU No 12 Tahun 2006 lebih kepada pengertian secara yuridis daripada
antropologis. Mengingat, orang Indonesia asli hanya disyaratkan melalui dua
unsur mengenai pengertian orang Indonesia asli. Yakni, lahir dan tidak menerima
kewarganegaraan lain di Indonesia. pergeseran makna dai orientasi antropologis
menjadi yuridis ini jelas memberikan sedikit harapan betapa makin maraknya
kasus diskriminasi sosial berlatar belakang etnisitas ternyata dibekingi UU No
12 Tahun 2006. Jelaslah, tidak ada lagi yang menyoal keaslian orang Indonesia
asli. Karena, undang-undang memberikan pengertian yuridis yang kompleks dan
mewakili segenap masyarakat Indonesia karena konsep orang Indonesia asli
hanyalah berdasarkan natural born
citizenship. [14]
3.
Relasi
Bangsa dan Warga Negara
Entitas suatu Negara sangat berpengaruh dengan
keutuhan bangsanya. Hal ini dapat dilhat secara sederhana melalui amanat
pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa
untuk membebaskan dari penjajahan yang dapat meruntuhkan komunitas politis yang
dinamakan Negara. Negara adalah perwujudan konkrit atas sebuah perjalanan
panjang kelompok komunal yang telah lama mendiami suatu wilayah. George
Jelineck, dalam Abu Daud Busroh (Ilmu Negara) [15]:
a.
Phase
Genootshap (Genossenschaft)
Fase ini
merupakan pengelompokkan dari orang-orang yang menggabungkan dirinya untuk
kepentingan bersama dan disadarkan pada persamaan. Mereka menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan yang sama. Kepemimpinan dipilih secara Primus Inter Pares (yang
terkemuka diantara yang sama). Pada fase ini yang terpenting adalah unsur
bangsa.
b.
Phase
Reich (Rijk)
Pada fase ini, kelompok orang yang telah
menggabungkan diri tersebut telah sadar akan hak milik atas tanah sehingga kemudian muncul tuan-tuan tanah yang berkuasa
atas tanah dan orang-orang yang menyewa tanah. Hal ini menimbulkan sistem feodalisme . Pada fase ini yang terpenting
adalah unsur wilayah.
c.
Phase
Staat
Pada fase ini masyarakat telah sadar dari tidak
memiliki negara menjadi memiliki negara. Pada fase ini yang terpenting
adalah bahwa ketiga unsur dari
negara (bangsa, wilayah dan pemerintahan
yang berdaulat) telah terpenuhi.
d.
Phase
nation state
Pada fase ini rakyat memegang kekuasaan yang
tertinggi.
Pemikiran dan hasil sosialisasi yang panjang
mengenai konsep bangsa itu sendiri yang kemudia terkoneksi dalam satu wadah
sepenanggungan yang kemudian berkembang menjadi entitas politik yang dinamakan
Negara. Pengaruh globalisasi memicu suatu komunitas politik yang tercermin
dalam suatu konsep yang dinamakan warga Negara. Bangsa sendiri, dalam
pengertian antropologis mempunyai makna berupa persekutuan hidup yang berdiri
sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut terikat oleh satu
kesatuan ras, bahasa, agama, dan adat istiadat. Untuk membedakan secara politis
mengenai batas-batas Negara dan etnisitas suatu bangsa, maka diperlukan sebuah
konsep kewarganegaraan.
Hal ini demi bertujuan untuk meminimalisir ledakan
demografi yang memicu pertumbuhan arus penduduk yang luar biasa, karena tidak
adanya batas-batas politis suatu bangsa. Oleh karena itulah, pengertian warga
Negara lebih kepada pengertian yuridis dalam hal ihwal urusan dan kepentingan
politis agar posisi bangsa dapat secara kuat dilegitimasi dalam mengikuti
perkembangan global. Pelabelan warga Negara memberi dampak secara faktual atas
pengakuan entitas suatu bangsa dalam erat kaitannya dengan komoditas politik
Internasional. Lihat bagaimana, bangsa Cina misalnya yang mendiami wilayah
Indonesia. mengingat, konsep bangsa erat kaitannya dengan ikatan primordialisme
maka bangsa Cina yang tanpa kewarganegaraan itu mendapatkan perlakuan yang
tidak jelas dari pemerintah Indonesia. karena, mereka dianggap migran gelap
yang tidak jelas identitasnya sebagai apa. Ketiadaan identitas secara
administratif dapat pula memberikan dampak negatif atas eksistensi suatu
bangsa.
Pemberian status kewarganegaraan untuk menguatkan
posisi bangsa secara politis, akan memengaruhi dalam hubungannya diantara kedua
bangsa yang saling berhubungan. Karena, hal tersebut berlaku asas resiprositas
dalam pengertian hukum internasional. Bila pemerintah Indonesia tidak
memerhatikan keberadaan bangsa lain di wilayah kedaulatan Negara Indonesia, maka
Indonesia dapat secara kuat dibuktikan melalui fakta yuridis telah melakukan
pelanggaran terhadap Konvensi 1951 tentang pengungsi dan foreign workers. [16]
BAB III
Penutup
Penutup
1.
Kesimpulan
Perkembangan suatu Negara akan memerlihatkan sebuah
pergerakan progresif atas kekuatan suatu bangsa. Keberadaan suatu bangsa yang
mendiami suatu wilayah merupakan kaidah umum yang berlaku atas sebuah pendirian
suatu Negara. George Jelinek secara cerdas mengungkapkan melalui buah pemikiran
dan penelitian panjang mengenai konsep terjadinya Negara itu sendiri. Suatu
entitas kelompok masyarakat dapat bertransformasi menjadi suatu bangsa yang
memiliki karakter atau yang Carl Von Savigny bilang dengan jiwa bangsa
(Volkgeist).
Nilai itu secara alamiah mendiami dan bertabur dalam
pendulum kehidupan suatu bangsa. Namun, eksistensi bangsa dalam pengertian
yuridis tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya suatu pengakuan secara politis
mengenai konsep bangsa itu sendiri. Maka dari itu, konsep citizenship menawarkan sebuah modulasi dalam memberikan identitas
politis dan memiliki kekuatan yuridis yang mengikat mengenai eksistensi dan
entitas suatu bangsa. Dalam era pergaulan internasional, kewarganegaraan
memproporsikan jenis-jenis metode pendekatan yang dapat digunakan dalam
mengkondisikan suatu kelompok masyarakat sebagai komponen penting Negara.
Melalui pendekatan Ius Soli (Berdasarkan kelahiran) dan Ius Sanguinis
(Berdasarkan Kelahiran) sebuah Negara dapat menetapkan entitas yuridis
bangsanya dengan menggunakan dua pendekatan.
Indonesia sebagai contoh dapat mengklasifikasikan
konsep warga Negara asli dan tidak asli melalui UU No 12 Tahun 2006. Secara
konseptual, Indonesia menganut asas kelahiran (Natural Born Citizenship) dalam pemahaman konkrit mengenai konsep
warga Negara asli Indonesia. sehingga, hal-hal diluar ketentuan yang diatur
dalam UU No 12 Tahun 2006 menjadi ketentuan khusus mengenai pewarganegaraan.
Hal tersebut dapat ditempuh dengan beberapa jalan,
seperti memberikan suaka (Asylum)
atau Naturalisasi (Naturalization).
Pemahaman faktual mengenai konsep warga Negara dalam UU No 12 Tahun 2006
terpaksa harus kita lepaskan dengan pemahaman antropologis. Karena, kerangka
pembuat hukum (legislator) dalam
membuat peraturan perundang-undangan mengenai kewarganegaraan hanyalah bersifat
hipotetis yuridis. Sehingga, kacamata antropologis mengenai konsep manusia, dan
bangsa yang dipandang melalui beberapa pendekatan konkrit lainnya seperti
fonetikal, semiotic, dan lain sebagainya belum dijangkau secara postulatif
lewat peraturan perundang-undangan ini.
Harapannya, kedepan pembedaan mengenai konsep warga
Negara haruslah diputuskan secara komprehensif sehingga tidak menimbulkan
friksi antara konsep warga Negara asli dan tidak asli dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia. kasus-kasus berlatar belakang diskriminasi sosial
yang mengusung tema-tema pembantaian etnis haruslah segera diupayakan
solusinya. Membangun kembali wahana kebijakan politik yang mewakili segenap
warga masyarakat akan meminimalisir diskriminasi budaya, etnisistas suatu
kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.
[1] Prof. Abu Daud Busroh, Ilmu
Negara, Bumi Aksara, Jakarta,1989. Hal 45
[2] Jan Nederveen Pieterse, 2nd Ed, Globalization and Culture, Plymouth United Kingdom, Rowman and
Littlefield Publisher, Inc, 2009.
[3] Keith Faulks, Citizenship,
Routledge, London, 2000
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Abu Dauh Busroh, Op.Cit,
Hal. 45
[7] Harian Republika, Nenek
Moyang Orang Indonesia Berasal dari Madagaskar, Senin 16 April 2012.
[8] http://www.aipi.or.id/id/news-and-messages/news/148-herawati-sudoyo-juara-sains-dasar-di-indonesia
diakses pada tanggal 25 Oktober 2012 pada Pukul 11. 35 WIB
[9] N. Daldjoeni, Geografi
Kesejarahan Indonesia, Alumni, Bandung, 1984.
[10] Paraton dan Negarakertagama, Prof. Dr. H. Kern, Het Oud-Javanisch Lafdicht Negarakertagama
ron Prapanca (s’Gravenhage 1919).
[11] Sefriani, SH., M.Hum, Pengantar
Hukum Internasional, Rajawali Press, Jakarta, 2009.
[12] UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Pasal 1 ayat (2)
[13] Undang-undang Dasar 1945 Pasca Perubahan, Pasal 26 ayat (1)
[14] Koran FH Unsri, Media Sriwijaya, Agus Ngadino SH., M.H., Orang
Bangsa Indonesia Asli
[15] Abu Daud Busroh, Op. Cit.
Hal
[16] Baca lebih lanjut UN Convention relating to the status of refugees
1951
No comments:
Post a Comment