Thursday, 15 November 2012

Konsep Orang Bangsa Indonesia Asli (Antropomorfistik dan Yuridis)


BAB I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Jauh sebelum konsep kewarga negaraan dan kewargaan Negara digulirkan melalui teori-teori sosial, pergulatan mengenai teori Darwin tentang evolusi manusia masih terus diperdebatkan. Hasil terakhir terkait penelitian dan temuan antorpologis mengenai asal muasal perkembangan manusia sekarang hingga mampu membentuk karakter dan pengembangan dirinya sendiri sehingga mampu menjalin komunikasi dan berinteraksi sosial, perlahan dipatahkan. Teori Darwin secara sederhana dapat diuraikan berupa pengalaman sosial monyet yang begitu pandai yang mampu memimpin peradaban dunia ribuan tahun yang lalu itu menjadi hipotesis yang banyak diyakini ilmuwan. Hal itu terwujud dengan bagaimana monyet melakukan pengaturan secara unik dalam menkoordinir koloni monyet untuk dapat teratur. Kendati, primate ini terkenal dengan kelincahannya.
Dibangun dari ilustrasi diatas, kendati hipotesis yang dibangun oleh Charles Darwin mengenai eksistensi monyet sebagai nenek moyang perlahan dipatahkan. Namun, bangunan ilustrasi diatas merelasikan bentuk pemahaman mengenai taraf kecerdasan yang diperoleh melalui perkembangan evolusi dan sejarah yang panjang memengaruhi proses kehidupan bermasyarakat di dunia.
Kondisi ini, memunculkan satu bentuk bangunan teoritik yang merupakan karya atau hasil pengembangan ilmiah berdasarkan proses penalaran individu dan pengalaman sosial sehingga terbentuk satu konstruksi teori sosial. Hal inilah yang barangkali melandasi konsep tumbuh berkembangnya teori-teori kenegaraan dalam phase staat[1] . dimana, George Jellineck dalam bukunya Algemeine Staatslehre menyebutkan bahwa pada fase staat, masyarakat telah sadar dan tidak bernegara menjadi bernegara dan mereka sadar mereka telah berkelompok.
Konsep perwarganegaraan dan kewarganegaraan sekarang ini berkembang begitu pesat seiring dengan berkembangan zaman (Cicero; Ubi Societas Ibi Ius). Seseorang dapat dengan mudah mendapatkan status kewarganegaraan seiring dengan kesadaran kehidupan bernegara dalam suatu Negara. Sebagai akibat dari humanity intervention yang dikeluarkan oleh UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees Representation) melalui satu mekanisme berupa pemberian suaka. Dapat pula status kewarganageraan diberikan melalui pemenuhan syarat administratif yang ditentukan oleh suatu Negara terhadap warga Negara asing atau eks-warga Negara lokal yang dikondisikan kehilangan kewarganegaraan seperti korban perang, kejahatan Genosida, dan rasisme.
Tak hanya melalui proses yang bersifat ekstensif, perubahan kondisi global dan arus informasi dan interaksi sosial yang luar biasa menyebabkan beberapa indikasi-indikasi sosial yang secara sendirinya mengubah sebuah perstiwa. Globalisasi memicu satu bentuk arus demografi lintas kontinen yang luar biasa dalam membentuk peradaban dengan sendirinya. Betapa tidak, globalisasi seperti sebuah prisma di mana perselisihan besar atas kondisi manusia kolektif menjadi bias. [2]
Keith Faulks dalam bukunya Citizenship, menyatakan bahwa kewarganegaraan itu bersifat ambiguasi. Karena, disatu sisi pergulatan teknis ideology sebuah Negara seperti liberalisme membuat perubahan mendasar dalam sistem sosial masyarakat yang lebh universal dan egaliter dalam menekankan statusnya diantara segenap warga Negara. [3]
Karenanya, tingkat originalitas suatu konsep warganegara yang asli telah mengalami redefinisi seiring dengan semakin tipisnya batas-batas antar Negara yang mengakibatkan ekslufitas sebuah komunitas/kelompok masyarakat menjadi deorisinil. [4] Faulks menambahkan, bahwa eskalasi budaya turut pula memengaruhi pelbagai peranan dalam suatu kerangka konseptual mengenai bangsa. Artinya, individualitas dalam batas-batas Negara, hukum warga, buruh migrant atau pengungsi serta orang-orang asing di luar batas Negara dapat dipersepsikan sebagai warga Negara namun dalam konseptualitas yang gradual. [5] 
This meant that individuals within state boundaries, legal residents, guest workers, refugees, as well as a foreigners outside state boundaries, can be perceived as ‘Outsider’ second class citizen by the dominant culture of the polity.” Keith Faulks-Citizenship 
2.      Rumusan Permasalahan
Makin maraknya kasus yang menimpa sebagian besar masyarakat keturunan yang tinggal di Indonesia mengenai status dan identitas kewarganegaraan yang diembannya membuat kita bertanya-tanya, sebenarnya seperti apa konsep orang bangsa Indonesia asli sehingga membuat sebagian besar masyarakat yang besar dan lahir Indonesia karena dianggap berasal dari ras tertentu maka diidentifikasikan sebagai bukan masyarakat pribumi. Kendati, Belanda pada saat masa kolonialisasi dulu membagi status hukum dan penggolongan hukum dalam Pasal 131 IS dan 163 IS.
Namun, apapun itu perlu diketahui dulu sebetulnya apa maksud konsep warganegara asli menurut yurisdiksi hukum nasional yang kini tertuang dalam UU No 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. seiring dengan maraknya kasus diskriminasi sosial Apakah orientasi konsep warganegara Indonesia asli itu merupakan formulasi dalam kategori antroplogis atau yang bersifat yuridis. sehingga refleksi atas sebuah klaim-klaim orang bangsa Indonesia asli itu dapat benar-benar dijawab kendati masih dalam tahap pengembangan dan hipotesis yang sederhana. 
BAB II
Pembahasan
1.      Historiografi Perkembangan Suatu Bangsa
Perkembangan suatu Negara tidak terlepas dari perkembangan secara geografis dan antorpologis suatu kelompok masyarakat. hal ini seiring dengan konsep terjadinya suatu Negara yang dipaparkan dalam George Jelineck dalam bukunya Algemeine Staatslehre, bahwa suatu Negara mengalami evolusi dalam empat fase hingga mampu membentuk dirinya sendiri sebagai Negara. dalam teorinya Jelineck membagi secara kategoris mengenai terjadinya Negara secara primer dan sekunder. Keempat fase tersebut merupakan 1) Fase perseketuan manusia, 2) Fase Kerajaan, 3) Fase Negara, 4) Fase Negara Demokrasi dan Diktatur. [6]
Jauh sebelum bangsa Indonesia mengklaim dirinya sebagai orang warganegara Indonesia asli, banyak arkeolog berpendapat bahwa leluhur nenek moyang Indonesia berasal dari Madagaskar. Prof. Naniek H Wibisono, dalam seminar yang diselenggarakan Lembaga Eijkman dan sejumlah lembaga ilmiah seperti Massey University, University of Arizona dan Universitie de Toulouse itu tampak dari benda-benda bersejarah bangsa Indonesia. [7]
Hal senada juga dikatakan oleh Prof. Herawati Sudoyo yang melakukan studi genetis. Penelitian Herawati melihat marka genetik DNA Mitokondria juga menunjukan sampel 2.745 sampel nenek moyang Madagaskar, sebanyak diantaranya 300 perempuan Indonesia.  Skala fragmen perkembangan demografi suatu Negara tentu memicu suatu penelitian empirik untuk menentukan klasifikasi kelompok masyarakat asli sehingga tidak terjadi disparitas makna yang berkumpul dalam ranah yang sempit. [8]
Para ahli meyakini bahwa orang bangsa Indonesia asli yang kini menjadi perhatian sebagian komponen masyarakat merupakan konklusi atas sebuah sejarah panjang dalam membentuk sendiri peradaban yang sampai sekarang kita kenal. menurut Fischer, seorang antropolog, kelompok Melayu Tua dating ke Indonesia lebih dahulu dari kelompok Melayu Muda, yakni sekitar tahun 1000 SM. Pada awalnya para migrant pendahulu itu menempati pantai-pantai atau pulau-pulau di Sumatera Utara, Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat. Oleh karena terdesak kelompok Melayu Muda yang datang sekitar tahun 500 SM, orang-orang Melayu Tua terus masuk ke pedalaman dan terisolasi sehingga mundurlah peradaban mereka. mereka itu yang kemudian menjadi suku batak, dayak, dan toraja. [9]
Selain itu, beberapa pakar antropologis dunia menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daratan Asia. Hal ini didukung dengan bukti-bukti penggunaan bahasa. Bahasa-bahasa yang digunakan di Indonesia, Polynesia, dan Melanesia adalah berasal dari satu pohon akar bahasa yang sama yakni Austronesia.  [10] Sehingga memunculkan hipotesis sederhana bahwa konsep orang bangsa Indonesia asli yang diklaim ‘Seorang Indonesia’ adalah hasil atas sosialisasi yang panjang mengenai asimilasi budaya secara biologis dan sosiologis.
2.      Konsep Warganegara
Warga Negara merupakan hal yang tak terpisahkan dari berdirinya suatu bangsa. Tanpa adanya warga Negara atau populasi yang tetap sulit bagi suatu Negara untuk dapat ditetapkan sebagai Negara. Sedangkan, fungsi Negara itu sendiri secara umum adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Sebagaimana, kita melihat pendirian Negara Indonesia yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana mungkin, suatu Negara dengan segala konsep Negara dan fungsi pendiriannya yang ditujukan untuk mensejahterakan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa namun tidak ada subjek yang dituju sebagai objek pengaturan.
Hal ini justeru diperkuat dengan konvensi Moentevideo 1933 mengenai hak dan kewajiban Negara yang sebenarnya hanya merupakan konvensi regional kawasan Amerika, senantiasa dijadikan rujukan struktural bagi proses nation and state building kapan suatu entitas politik dapat dikatakan sebagai suatu Negara. Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa karakteristik Negara harus memenuhi empat unsur sebagai berikut [11]:
1.      Memiliki a Defined Teritory
2.      Memiliki a permanent population
3.      Memiliki Pemerintahan
4.      Memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internasional dengan Negara lain.

Berdasarkan pemahaman yang dipaparkan melalui konvensi Montevideo 1933 tersebut konsep Negara jelas tidak terpisahkan dari adanya suatu bangsa yang bertransformasi sebagai warga Negara sebagai suatu komponen entitas politis yang memutualisasikan suatu ko-eksistensi sosial sebagai ihwal implementasi adanya Negara.
Sedangkan, pengertian warga Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) adalah penduduk sebuah Negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan sebagainya, yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dari Negara itu. Sementara Dr. A.S Hikam (2000) mendefinisikan warga Negara (Citizenship) adalah anggota sebuah komunitas yang membentuk itu sendiri.
Secara yuridis, konsep warga Negara yang ditetapkan melalui amanat Undang-undang Dasar 1945 dan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan adalah warga suatu Negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kewarganegaraan merupakan segala hal ihwal yang berkaitan dengan warga Negara. [12] Selain itu, dalam UUD 1945 Pasal 26 ayat (1) pengertian warga Negara ditetapkan sebagai orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara. [13] selain itu, proses penetapan kategorisasi warga Negara pun telah mengalami
lebih lanjut, konsep mengenai warga Negara Indonesia yang ditetapkan melalui UU No 12 Tahun 2006 sendiri menyematkan pemahaman ‘warga Negara Indonesia asli’ dalam UU No 12 Tahun 2006. Sehingga memunculkan adanya wacana ‘warga Negara Indonesia tidak asli’ dalam rentang pemikiran hukum. lantas, seperti apa konsep warga Negara Indonesia asli yang ditetapkan dalam UU No 12 Tahun 2006?
Berdasarkan penjelasan atas UU No 12 Tahun 2006, pembentuk undang-undang memberikan limitasi terhadap konsep mengenai warga Negara Indonesia asli itu sendiri. Penjelasan pasal 2 menjelaskan bahwa warga Negara Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
Jadi jelaslah bahwa, legal concept mengenai konsep orang Indonesia asli menurut ketentuan UU No 12 Tahun 2006 lebih kepada pengertian secara yuridis daripada antropologis. Mengingat, orang Indonesia asli hanya disyaratkan melalui dua unsur mengenai pengertian orang Indonesia asli. Yakni, lahir dan tidak menerima kewarganegaraan lain di Indonesia. pergeseran makna dai orientasi antropologis menjadi yuridis ini jelas memberikan sedikit harapan betapa makin maraknya kasus diskriminasi sosial berlatar belakang etnisitas ternyata dibekingi UU No 12 Tahun 2006. Jelaslah, tidak ada lagi yang menyoal keaslian orang Indonesia asli. Karena, undang-undang memberikan pengertian yuridis yang kompleks dan mewakili segenap masyarakat Indonesia karena konsep orang Indonesia asli hanyalah berdasarkan natural born citizenship. [14]
3.      Relasi Bangsa dan Warga Negara
Entitas suatu Negara sangat berpengaruh dengan keutuhan bangsanya. Hal ini dapat dilhat secara sederhana melalui amanat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa untuk membebaskan dari penjajahan yang dapat meruntuhkan komunitas politis yang dinamakan Negara. Negara adalah perwujudan konkrit atas sebuah perjalanan panjang kelompok komunal yang telah lama mendiami suatu wilayah. George Jelineck, dalam Abu Daud Busroh (Ilmu Negara) [15]:
a.      Phase Genootshap (Genossenschaft)
      Fase ini merupakan pengelompokkan dari orang-orang yang menggabungkan dirinya untuk kepentingan bersama dan disadarkan pada persamaan.  Mereka menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama. Kepemimpinan dipilih secara Primus Inter Pares (yang terkemuka diantara yang sama). Pada fase ini yang terpenting adalah unsur bangsa.
b.      Phase Reich (Rijk)
Pada fase ini, kelompok orang yang telah menggabungkan diri tersebut telah sadar akan hak milik atas tanah sehingga  kemudian muncul tuan-tuan tanah yang berkuasa atas tanah dan orang-orang yang menyewa tanah. Hal ini menimbulkan sistem  feodalisme . Pada fase ini yang terpenting adalah unsur wilayah.
c.       Phase Staat
Pada fase ini masyarakat telah sadar dari tidak memiliki negara menjadi memiliki negara. Pada fase ini yang terpenting adalah  bahwa ketiga unsur dari negara  (bangsa, wilayah dan pemerintahan yang berdaulat) telah terpenuhi.
d.      Phase nation state
Pada fase ini rakyat memegang kekuasaan yang tertinggi.
Pemikiran dan hasil sosialisasi yang panjang mengenai konsep bangsa itu sendiri yang kemudia terkoneksi dalam satu wadah sepenanggungan yang kemudian berkembang menjadi entitas politik yang dinamakan Negara. Pengaruh globalisasi memicu suatu komunitas politik yang tercermin dalam suatu konsep yang dinamakan warga Negara. Bangsa sendiri, dalam pengertian antropologis mempunyai makna berupa persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut terikat oleh satu kesatuan ras, bahasa, agama, dan adat istiadat. Untuk membedakan secara politis mengenai batas-batas Negara dan etnisitas suatu bangsa, maka diperlukan sebuah konsep kewarganegaraan.
Hal ini demi bertujuan untuk meminimalisir ledakan demografi yang memicu pertumbuhan arus penduduk yang luar biasa, karena tidak adanya batas-batas politis suatu bangsa. Oleh karena itulah, pengertian warga Negara lebih kepada pengertian yuridis dalam hal ihwal urusan dan kepentingan politis agar posisi bangsa dapat secara kuat dilegitimasi dalam mengikuti perkembangan global. Pelabelan warga Negara memberi dampak secara faktual atas pengakuan entitas suatu bangsa dalam erat kaitannya dengan komoditas politik Internasional. Lihat bagaimana, bangsa Cina misalnya yang mendiami wilayah Indonesia. mengingat, konsep bangsa erat kaitannya dengan ikatan primordialisme maka bangsa Cina yang tanpa kewarganegaraan itu mendapatkan perlakuan yang tidak jelas dari pemerintah Indonesia. karena, mereka dianggap migran gelap yang tidak jelas identitasnya sebagai apa. Ketiadaan identitas secara administratif dapat pula memberikan dampak negatif atas eksistensi suatu bangsa.
Pemberian status kewarganegaraan untuk menguatkan posisi bangsa secara politis, akan memengaruhi dalam hubungannya diantara kedua bangsa yang saling berhubungan. Karena, hal tersebut berlaku asas resiprositas dalam pengertian hukum internasional. Bila pemerintah Indonesia tidak memerhatikan keberadaan bangsa lain di wilayah kedaulatan Negara Indonesia, maka Indonesia dapat secara kuat dibuktikan melalui fakta yuridis telah melakukan pelanggaran terhadap Konvensi 1951 tentang pengungsi dan foreign workers. [16]


BAB III
Penutup
1.        Kesimpulan
Perkembangan suatu Negara akan memerlihatkan sebuah pergerakan progresif atas kekuatan suatu bangsa. Keberadaan suatu bangsa yang mendiami suatu wilayah merupakan kaidah umum yang berlaku atas sebuah pendirian suatu Negara. George Jelinek secara cerdas mengungkapkan melalui buah pemikiran dan penelitian panjang mengenai konsep terjadinya Negara itu sendiri. Suatu entitas kelompok masyarakat dapat bertransformasi menjadi suatu bangsa yang memiliki karakter atau yang Carl Von Savigny bilang dengan jiwa bangsa (Volkgeist).
Nilai itu secara alamiah mendiami dan bertabur dalam pendulum kehidupan suatu bangsa. Namun, eksistensi bangsa dalam pengertian yuridis tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya suatu pengakuan secara politis mengenai konsep bangsa itu sendiri. Maka dari itu, konsep citizenship menawarkan sebuah modulasi dalam memberikan identitas politis dan memiliki kekuatan yuridis yang mengikat mengenai eksistensi dan entitas suatu bangsa. Dalam era pergaulan internasional, kewarganegaraan memproporsikan jenis-jenis metode pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkondisikan suatu kelompok masyarakat sebagai komponen penting Negara. Melalui pendekatan Ius Soli (Berdasarkan kelahiran) dan Ius Sanguinis (Berdasarkan Kelahiran) sebuah Negara dapat menetapkan entitas yuridis bangsanya dengan menggunakan dua pendekatan.
Indonesia sebagai contoh dapat mengklasifikasikan konsep warga Negara asli dan tidak asli melalui UU No 12 Tahun 2006. Secara konseptual, Indonesia menganut asas kelahiran (Natural Born Citizenship) dalam pemahaman konkrit mengenai konsep warga Negara asli Indonesia. sehingga, hal-hal diluar ketentuan yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2006 menjadi ketentuan khusus mengenai pewarganegaraan.
Hal tersebut dapat ditempuh dengan beberapa jalan, seperti memberikan suaka (Asylum) atau Naturalisasi (Naturalization). Pemahaman faktual mengenai konsep warga Negara dalam UU No 12 Tahun 2006 terpaksa harus kita lepaskan dengan pemahaman antropologis. Karena, kerangka pembuat hukum (legislator) dalam membuat peraturan perundang-undangan mengenai kewarganegaraan hanyalah bersifat hipotetis yuridis. Sehingga, kacamata antropologis mengenai konsep manusia, dan bangsa yang dipandang melalui beberapa pendekatan konkrit lainnya seperti fonetikal, semiotic, dan lain sebagainya belum dijangkau secara postulatif lewat peraturan perundang-undangan ini.
Harapannya, kedepan pembedaan mengenai konsep warga Negara haruslah diputuskan secara komprehensif sehingga tidak menimbulkan friksi antara konsep warga Negara asli dan tidak asli dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. kasus-kasus berlatar belakang diskriminasi sosial yang mengusung tema-tema pembantaian etnis haruslah segera diupayakan solusinya. Membangun kembali wahana kebijakan politik yang mewakili segenap warga masyarakat akan meminimalisir diskriminasi budaya, etnisistas suatu kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. 



[1] Prof. Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta,1989. Hal 45
[2] Jan Nederveen Pieterse, 2nd Ed, Globalization and Culture, Plymouth United Kingdom, Rowman and Littlefield Publisher, Inc, 2009.
[3] Keith Faulks, Citizenship, Routledge, London, 2000
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Abu Dauh Busroh, Op.Cit, Hal. 45
[7] Harian Republika, Nenek Moyang Orang Indonesia Berasal dari Madagaskar, Senin 16 April 2012.
[9] N. Daldjoeni, Geografi Kesejarahan Indonesia, Alumni, Bandung, 1984.
[10] Paraton dan Negarakertagama, Prof. Dr. H. Kern, Het Oud-Javanisch Lafdicht Negarakertagama ron Prapanca (s’Gravenhage 1919).
[11] Sefriani, SH., M.Hum, Pengantar Hukum Internasional, Rajawali Press, Jakarta, 2009.
[12] UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Pasal 1 ayat (2)
[13] Undang-undang Dasar 1945 Pasca Perubahan, Pasal 26 ayat (1)
[14] Koran FH Unsri, Media Sriwijaya, Agus Ngadino SH., M.H., Orang Bangsa Indonesia Asli
[15] Abu Daud Busroh, Op. Cit. Hal
[16] Baca lebih lanjut UN Convention relating to the status of refugees 1951

No comments:

Post a Comment