BAB I
Pendahuluan
Pendahuluan
a. Latar Belakang
Sudah hampir enam dekade, undang-undang hukum pertanahan
nasional digulirkan. Eksistensinya pun sudah cukup familiar di telinga
praktisi/akademisi hukum, pemerhati masalah pertahan, hingga makelar tanah. UU
No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Selanjutnya
disebut UUPA) yang resmi diundangkan berdasarkan tambahan lembaran Negara
1960-104.
Adapun maksud dan tujuan dari pembuat undang-undang
(legislator) dalam merumuskan UUPA dikarenakan konteks ekonomis masyarakatnya
yang bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang
adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan.
Oleh karena itu, UUPA saat ini dinilai telah cukup
akomodatif dalam merumuskan peraturan perundang-undangan ditengah kondisi
geo-politik Indonesia
yang begitu multi kultural.
Demikianlah maka pada pokoknya tujuan UUPA dalam
Penjelasan atas UU No 5 Tahun 1960 merumuskan : [1]
a.
meletakkan dasar-dasar bagi
penyusunan hukum agrria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan
kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat
tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b.
meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c.
meletakkan dasar-dasar untuk
memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat dan seluruhnya.
Dalam sejarah pertanahan di Indonesia , hingga saat ini masih
banyak hal yang diatur oleh undang-undang tersebut namun belum dapat dijabarkan
lebih lanjut sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebagai peraturan dasar,
UUPA hanya mengatur asas-asas atau masalah-masalah pokok dalam garis besarnya
dalam hukum pertanahan / agraria. Untuk itu diperlukan pengaturan yang lebih
rinci dalam berbagai bentuk peraturan organik baik serupa undang-undang maupun
peraturan yang lebih rendah. Dari sekian banyak hal yang belum dijabarkan,
diantaranya adalah hak milik yang secara khusus diatur dalam pasal 20 sampai
dengan 27 UUPA. Disamping itu, hak milik juga disebut dalam pasal
35,37,41,43,44,46,49,50,51 dan 56 serta pasal I, II, dan pasal VII
ketentuan-ketentuan konversi. Dan sampai saat ini belum ada peraturan organik
yang mengatur hak milik atas tanah.
Hak milik dalam suatu sistem hukum merupakan sendi pokok
yang akan menentukan
keseluruhan sistem tersebut. Warna dari sistem hukum yang
bersangkutan untuk sebagian besar adalah bagaimana pengaturan tentang hak
miliknya.
Bidang keagrariaan
dapat dijadikan pedoman alam pembahasan tentang hak milik yang pengaturannya
dapat dijumpai secara tegas dan jelas dalam UUPA. Hal ini disebabkan karena
disamping tanah merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional juga
merupakan obyek hukum yang paling vital dan kebutuhan hidup yang paling primer
bagi setiap orang dimana saja dan kapan saja.
Akibatnya sebagaimana yang kita lihat, hak milik yang
diatur dalam bidang keagrariaan merupakan hak milik yang paling ketat, dalam
arti paling berat persyaratannya bila dibandingkan dengan persyaratan yang
harus dipenuhi oleh para pemegang hak milik dalam bidang-bidang kehidupan yang
lain. Tetapi sebagai imbangannya, nilai perlindungan hukum yang dihasilkan bagi
para pemegangnya mengandung kadar kepastian yang dapat dikatakan paling tinggi.[2]
Banyaknya tanah di Indonesia yang masih belum jelas
status kepemilikannya merupakan pemicu konflik di dalam masyarakat, akibat
luasan dari konflik tersebut memunculkan apa yang biasa disebut dengan
sengketa. Sengketa tanah tersebut melibatkan berbagai pihak baik antara
instansi pemerintah tertentu dengan masyarakat maupun masyarakat dengan
masyarakat itu sendiri. Salah satu bentuk tanah yang memicu konflik di
masyarakat Indonesia
adalah munculnya tanah timbul atau tanah oloran.
Tanah tersebut merupakan sumber daya alam baru yang
secara ekonomis potensial untuk pertanian tambak di wilayah Indonesia , namun demikian munculnya
tanah timbul (aanslibbing) ditepi sungai atau pantai tersebut dapat menimbulkan
kepemilikan atas tanah oleh masyarakat. Proses terjadinya kepemilikan atas
tanah timbul (aanslibbing) adalah melalui proses evolusi yang terjadi bertitik
awal dari adanya tanah tak bertuan (res
nullius). Pemerintah menyadari bahwa masalah pertanahan tersebut perlu
ditangani dengan segera. Tanpa penanganan masalah secara
komprehensif dan sesegera mungkin maka sulit bagi bangsa Indonesia untuk membangun kembali
tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang sehat dan berkeadilan.
Saat ini
komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah pertanahan tersebut sudah
mendapatkan legitimasi yang sangat kuat yaitu dengan disahkannya Tap MPR
IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang
menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pemanfaatan
sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Ketetapan tersebut
memberikan
mandat kepada pemerintah Indonesia untuk
melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan peraturan dan
perundang-undangan maupun penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah yang kesemuanya diletakkan dalam kerangka membangun kesejahtraan rakyat
yang berkelanjutan.
BAB II
Permasalahan
Akhir-akhir
ini banyak pertanyaan dari beberapa pihak mengenai status tanah-tanah timbul,
tanah reklamasi dan juga tanah reklamasi dii atas bekas tanah hak yang hilang
karena abrasi atau terkena bencana alam lainnya.
Untuk
menertibkan tanah-tanah tersebut, perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Tanah-tanah yang hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau
hilang karena longsor, tertimbun atau gempa bumi, atau pindah ke tempat lain
karena pergeseran tempat (land slide) maka tanah-tanah tersebut dinyatakan
hilang dan haknya hapus dengan sendirinya. Selanjutnya pemegang haknya tidak
dapat minta ganti rugi kepada siapa-pun dan tidak berhak menuntut apabila di
kemudian hari di atas bekas tanah tersebut dilakukan reklamasi/penimbunan
dan/atau pengeringan (polder).
2.
Tanah-tanah reklamasi dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai oleh negara dan pengaturannya
dilaksanakan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Pihak yang melakukan reklamasi dapat diberikan prioritas pertama untuk mengajukan
permohonan hak atas tanah reklamasi tersebut.
3.
Tanah-tanah timbul secara alami seperti delta, tanah pantai, tepi danau/situ,
endapan tepi sungai, pulau timbul dan tanah timbul secara alami lainnya
dinyatakan sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Selanjutnya
penguasaan/pemilikan serta penggunaannya diatur oleh Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
4.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka para Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Propinsi agar segera melakukann inventarisasi
tanah-tanah timbul dan tanah hilang yang terjadi secara alami. Untuk tanah yang
hilang apabila sudah ada sertifikatnya agar disesuaikan. Untuk tanah yang akan
direklamasi sebelumnya harus diberi tanda-tanda batasnya sehinggaa bisa
diketahui luas tanah yang nantinya selesai direklamasi.
BAB III
Pembahasan
Istilah Tanah Timbul (Aanslibbing)
Tanah
timbul yang didalam bahasa Inggris disebut deltaber atau channelbar, di
dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah aanslibbing, sedangkan di
dalam bahasa Indonesia biasanya disebut dengan tanah tumbuh atau tanah
timbul [3]
Sementara
itu Widyanto (1997:2-3) memberikan pengertian bahwa tanah oloran atau tanah
timbul merupakan tanah hasil endapan (sedimentasi) Lumpur sebagai akibat banjir
sungai yang berhenti di suatu tempat dan mengendap kemudian muncul menjadi
tanah.
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dianut hukum tertulis dan
tidak tertulis, hal ini ditegaskan pada penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 “disampingnya
undang-undang dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu ”aturan-aturan
dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara
meskipun tidak tertulis”. Dari kalimat diatas tertuang politik hukum
dalam penyusunan peraturan perundangundangan baru di Indonesia . Dalam UUPA sikap tersebut
tertuang pada penjelasan bagian III sub (1)“…..hukum agraria yang baru harus
sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak”.[4]
Oleh karena
rakyat Indonesia
sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan
didasarkan pula kepada ketentuan-ketentuan hukum adat sebagai hukum asli yang
disempurnakan (di saneering)dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat
dalam negara yang modern. Politik hukum agraria ini juga tertuang pada pasal 5
UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa adalah hukum adat. Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
tidak menganut salah satu teori hukum positif (hukum tertulis) atau hukum idealis
(yang ada di tengah masyarakat), tetapi gabungan dari keduanya. Penggunaan
keduanya adalah dalam tujuan agar hukum itu dapat berguna
dalam menyelesaikan pertentangan
kepentingan yang ada di tengah masyarakat.
Berkenaan dengan munculnya tanah
timbul di tepi sungai dan pantai yang dikenal dengan istilah tanah
oloran, sampai saat ini belum diatur secara eksplisit atau tersurat
dalam suatu peraturan perundangan tertulis, tetapi dapat disimpulkan
dari ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan pasal 2 Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa[5]
: Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 Undang- Undang Dasar 1945
dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat.
Hak
menguasai dari negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang
untuk: Pertama mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi dan ruang angkasa tersebut. Kedua menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa. Ketiga menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan Penguasaan tanah
timbul (aanslibbing) sebagai dasar untuk memperoleh hak milik atas tanah
hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angkasa. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai
dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan
dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak menguasai dari negara
tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra
dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah.
Meski
dari ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) telah jelas, namun demikian tanah timbul atau tanah oloran di
tepi sungai atau pantai seringkali dianggap menjadi kepunyaan orang yang
memiliki tanah yang berbatasan, karena biasanya pertumbuhan tanah tersebut
sedikit banyak terjadi karena usahanya. Dengan demikian terjadinya hak milik
secara demikian
itu juga melalui suatu proses
pertumbuhan yang memakan waktu.
Uraian
tersebut diatas baik resmi maupun pendapat perorangan menunjukkan terjadinya
hak milik atas tanah menurut hukum adat adalah melalui pembukaan tanah
sebagaimana telah dikenal secara tradisional dalam masyarakat hukum adat Indonesia .
Dalam perkembangannya apa yang
digariskan melalui pasal 46 UUPA yang menegaskan “hak membuka tanah dan
memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan
peraturan pemerintah”.
Terbentuknya
hak atas tanah yang berasal dari nilai-nilai yang berkembang di tengah
masyarakat merupakan doktrin hukum yaitu ubi societas ibi ius (pada
setiap masyarakat dan kelompok masyarakat mempunyai hukumnya sendiri).
Di
Indonesia upaya pembangunan hukum pertanahan dilakukan dengan memadukan dua
ajaran atau aliran hukum. Penerapan ajaran atau aliran pikiran hukum yang
dipelopori Von Savigny terungkap dalam penjelasan umum angka III UUPA yang
mengemukakan bahwa “….hukum agraria yang baru sesuai dengan kesadaran hukum
rakyat banyak dan didasarkan kepada hukum adat sebagai hukum asli yang
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang
modern…”. [6]
Penerapan
ajaran atau aliran pikiran hukum Roscoe Pound ditunjukkan oleh tujuan dan fungsi
hukum yang dibentuk yaitu mengadakan perubahan pola penguasaan dan pemilikan
tanah dalam masyarakat. Semula penguasaan tanah di sebagian besar masyarakat Indonesia
bersifat komunal dan tanpa bukti tertulis. Melalui UUPA diintroduksikan sistem
penguasaan dan pemilikan tanah yang menyeluruh dan pada akhirnya dapat dibuktikan.
Di dalam penguasaan dan pemilikan itu individu ditampilkan sebagai orang yang
memiliki hak sehingga menunjukkan pergerakan dari system komunal ke individu.
Seperti
halnya hukum yang dimiliki oleh masyarakat untuk tanah timbul atau tanah
oloran di tepi sungai atau pantai yang semula belum adanya UUPA telah
menggunakan aturan-aturan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku, yakni
penguasaan
dan pemilikan tanah timbul atau
tanah oloran dilakukan dengan cara pendudukan tanah atau membuka
tanah tak bertuan dengan tanpa izin siapapun kecuali kepala adat atau
tokoh masyarakat, sekarang berubah menjadi bentuk adanya pengajuan permohonan
oleh masyarakat kepada kepala desa setempat. Namun seiring dengan adanya
pengetahuan, informasi serta sosialisai mengenai pertanahan, tanah
timbul / tanah oloran telah dilakukan upaya untuk melakukan pendaftaran
terhadap penguasaan hak atas tanahnya, sehingga menjadi hak milik
dalam dan dokumen bukti penguasaannya berupa sertifikat. Ini menunjukkan
adanya perubahan status yang dulunya mereka menguasai secara fakta,
namun demikian dengan adanya pendaftaran tanah dan menjadi sertifikat
status penguasaan tanah dan pemilikan tanahnya secara yuridis
menjadi tanah hak milik.
Dalam hal
penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah oloran peneliti
telah menyaksikan peranan dari berbagai kelompok sosial atau individu
dalam menentukan arah perkembangan hukum di dalam masyarakat. Peran
hukum adat ternyata tidak hanya terbatas pada pengambilan inisiatif dalam hukum
ketika sumber hukum lain tidak memberikan jawaban, karena hukum adat
pada kenyataannya juga mempunyai peran yang penting yang harus dimainkan
dalam masalah aplikasi hukum yang muncul.
Adanya
evolusi terhadap tanah tak bertuan (res nullius) untuk sampai pada tahap
timbulnya penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul atau tanah
oloran itu adalah karena proses pemilikannya bergantung pada perkembangan
budaya masyarakat setempat (proses alamiah).
Dengan
melihat realitas hukum yang ada di Jawa setiap orang yang membuka tanah (liar)
kosong, membuka hutan diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah (erfelijk
indiviueel bezits recht) yang sejalan dengan konsep hukum adat. Sehingga
cara perolehan hak milik secara adat bagi warga desa terhadap tanah timbul
/ tanah oloran masih memungkinkan selama UUPA mengakui keberadaan hukum
adat.
Sebagaimana
dijelaskan pasal 5 UUPA yang menyatakan “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air,
dan ruang angkasa dalam hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia .
Dari pasal ini dapat diketahui bahwa latar belakang,
sejarah dan proses penyusunan serta dasar berfikir penyusunan UUPA menunjukkan
bahwa Undang-Undang ini merupakan hukum yang terbentuk berdasarkan kesadaran
hukum masyarakat hukum adat. Hal ini ditegaskan pada penjelasan umum angka 1
UUPA bahwa “… Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada adat,
maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan
hukum adat itu, sebagai hukum Penguasaan
tanah timbul (aanslibbing) sebagai dasar untuk memperoleh hak milik atas tanah
asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat.
Keberadaan
hukum adat yang dimiliki masyarakat dalam perolehan tanah timbul atau tanah
oloran, masih mempunyai tempat manakala kita hadapkan kepada pasal 56
UUPA yang menyatakan bahwa: Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagaimana
tersebut dalam pasal 51 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah
ketentuanketentuan hukum adat setempat. Pasal 5 UUPA secara implisit tidak
menegaskan doktrin hukum mana yang akan diberlakukan di tengah masyarakat.
Citacita
UUPA adalah mewujudkan kepastian
hukum tanah di Indonesia
dan dengan kesatuan hukum yang diberlakukan untuk seluruh wilayah. Ketidak tegasan
pasal 5 UUPA tersebut secara implisit juga mengakui adanya pluralisme hukum,
yaitu hukum adat yang dianut oleh berbagai masyarakat hukum adat di Indonesia .
Ketidak tegasan
tersebut mengakibatkan hukum tertulis (UUPA) dihadapkan kepada dua keadaan,
yaitu kepastian dan ketidakpastian, lebih lanjut akan dihadapkan pula kepada
pertanyaan dan tuntutan tentang kesebandingan masalah dan pertanyaan ini akan
selalu timbul bila berhadapan dengan tiga kepentingan, yaitu kepentingan
individu,
masyarakat hukum adat dan negara
dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Negara RI .
Dengan
demikian melihat kenyataan yang ada di Indonesia masih terdapat pluralisme
hukum di bidang pertanahan khususnya yang berkaitan dengan tanah timbul atau
tanah oloran. Wujud pluralisme hukum tersebut nampak jelas di lapangan,
yaitu ada
dua sistem yang berlaku dan menjadi
dasar hukum bagi para pihak. Dua sistem hukum tersebut adalah hukum adat/lokal
(tidak tertulis), hukum Negara (tertulis) : PP 224/tahun 1961 sebagai
penjabaran dari Undang-Undang nomor 56/Prp/tahun 1960 telah berlaku secara
bersama dan digunakan sebagai dasar hukum oleh para pihak yang berkepentingan
dalam melaksanakan penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah
oloran.
BAB IV
Penutup
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) merupakan wujud unifikasi hukum pertanahan nasional karena
UUPA telah menjebol sistem hukum kolonial yang pluralistis. Dalam kenyataannya,
saat ini masih terdapat pluralisme hukum dibidang pertanahan khususnya yang
berkaitan dengan tanah timbul atau tanah oloran. Wujud pluralisme
hukum tersebut tampak jelas di lapangan yaitu, bahwa hukum Negara (hukum
tertulis) seperti UU No. 56/Prp tahun 1960 tentang pembagian tanah dan
pemberian ganti rugi yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 224 tahun 1961, PP
No. 41 tahun 1964 dan PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah serta
hukum local (tidak tertulis) berlaku secara bersama-sama dan digunakan sebagai
dasar oleh para pihak dalam melaksanakan penguasaan dan pemilikan tanah timbul
atau tanah oloran.
Hukum agraria nasional (UUPA) sesungguhnya
secara materiil memuat ketentuan-ketentuan yang bersumber kepada hukum adat, hukum
perdata barat dan hukum Islam. Sifat dan karakter UUPA yang populis, menghargai
budaya asli bangsa (hukum adat), mementingkan jiwa kesatuan dan persatuan,
menonjolkan peranan negara yang mempunyai hak menguasai bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya tanpa menafikan hak individual adalah modal
sekaligus sarana bagi usaha mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Tujuan penguasaan dan pemilikan tanah itu adalah digunakan untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Disini dianut asas pemerataan, yakni
bukan kemakmuran orang perorang yang dituju, tetapi kemakmuran seluruh rakyat,
yang berarti
kemakmuran perseorangan yang telah
atau akan dicapai tidak boleh menyebabkan orang lain terhalang mencapai
kemakmuran.
Dalam hal
penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah olorani seringkali
dibutuhkan penguasaan fisik yang kongkrit dan adanya intensitas de
facto penggunaan atau penggarapan manusia atas tanah tersebut.
Semakin intens penggarapan, maka semakin utuh pula hubungan antara
manusia dengan tanahnya, sehingga semakin kukuh pula penguasaan atas
tanah tersebut.
Dalam rangka memberikan kepastian
hukum terhadap penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah
oloran, hendaknya pemerintah segera menyusun kebijakan baru tentang hak
milik atas tanah sehingga ada dasar hukum yang jelas bagi Badan Pertanahan Nasional
untuk memberikan hak milik kepada masyarakat yang telah menguasai dan memiliki tanah
timbul atau tanah oloran.
Efektifitas
penyuluhan hukum pada masyarakat berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan tanah
timbul atau tanah oloran perlu ditingkatkan, agar masyarakat sadar
dan mengerti tentang status tanah tersebut yang muncul di perairan pantai. Mengharapkan
kepada pejabat pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan pendaftaran tanah, khususnya
tanah yang dihasilkan dari tanah timbul atau tanah oloran, untuk
ikut aktif berperan dengan memasyarakatkan pensertipikatan tanah. Karena selama
ini ada sebagian masyarakat yang mempunyai anggapan bahwa mereka cukup aman
dengan hanya memegang atau memiliki surat
segel tanah atau Surat Izin Menggarap (SIM) tanah, tanpa berkeinginan untuk
mendaftarkan tanah tersebut menjadi sertifikat. Pihak aparat pendaftaran tanah
diharapkan mampu meningkatkan profesionalisme dibidang pensertifikatan sehingga
bisa membantu dan memperlancar proses pendaftaran tanah.
[1] Boedi Harsono, S.H., Hukum
Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah. Djambatan. Jakarta . Hal 26-27
[2] Purbacaraka dan Halim, 1982:64
[3] Burings, 1983 dalam Sulistriono, 2000.
Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan: Kasus Penguasaan Tanah Timbul di
Muara Sungai Citandui, dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia , Jakarta :185
[4] Ibid. Hal. 35
[5] Ibid. Hal 11
[6] Rofi Wahanisa dan Arif Hidayat. 2009. “Penguasaan tanah timbul
(aanslibbing) sebagai dasar untuk memperoleh hak milik atas tanah”, Prisma, 1,
Hal 4
No comments:
Post a Comment