Thursday, 15 November 2012

Penguatan Yuridis Hak Atas Tanah Timbul


BAB I
Pendahuluan
a. Latar Belakang

Sudah hampir enam dekade, undang-undang hukum pertanahan nasional digulirkan. Eksistensinya pun sudah cukup familiar di telinga praktisi/akademisi hukum, pemerhati masalah pertahan, hingga makelar tanah. UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Selanjutnya disebut UUPA) yang resmi diundangkan berdasarkan tambahan lembaran Negara 1960-104.
Adapun maksud dan tujuan dari pembuat undang-undang (legislator) dalam merumuskan UUPA dikarenakan konteks ekonomis masyarakatnya yang bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan.
Oleh karena itu, UUPA saat ini dinilai telah cukup akomodatif dalam merumuskan peraturan perundang-undangan ditengah kondisi geo-politik Indonesia yang begitu multi kultural.
Demikianlah maka pada pokoknya tujuan UUPA dalam Penjelasan atas UU No 5 Tahun 1960 merumuskan : [1]
a.                 meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b.                 meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c.                 meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat dan seluruhnya.

Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, hingga saat ini masih banyak hal yang diatur oleh undang-undang tersebut namun belum dapat dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebagai peraturan dasar, UUPA hanya mengatur asas-asas atau masalah-masalah pokok dalam garis besarnya dalam hukum pertanahan / agraria. Untuk itu diperlukan pengaturan yang lebih rinci dalam berbagai bentuk peraturan organik baik serupa undang-undang maupun peraturan yang lebih rendah. Dari sekian banyak hal yang belum dijabarkan, diantaranya adalah hak milik yang secara khusus diatur dalam pasal 20 sampai dengan 27 UUPA. Disamping itu, hak milik juga disebut dalam pasal 35,37,41,43,44,46,49,50,51 dan 56 serta pasal I, II, dan pasal VII ketentuan-ketentuan konversi. Dan sampai saat ini belum ada peraturan organik yang mengatur hak milik atas tanah.
Hak milik dalam suatu sistem hukum merupakan sendi pokok yang akan menentukan
keseluruhan sistem tersebut. Warna dari sistem hukum yang bersangkutan untuk sebagian besar adalah bagaimana pengaturan tentang hak miliknya.
            Bidang keagrariaan dapat dijadikan pedoman alam pembahasan tentang hak milik yang pengaturannya dapat dijumpai secara tegas dan jelas dalam UUPA. Hal ini disebabkan karena disamping tanah merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional juga merupakan obyek hukum yang paling vital dan kebutuhan hidup yang paling primer bagi setiap orang dimana saja dan kapan saja.
Akibatnya sebagaimana yang kita lihat, hak milik yang diatur dalam bidang keagrariaan merupakan hak milik yang paling ketat, dalam arti paling berat persyaratannya bila dibandingkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pemegang hak milik dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Tetapi sebagai imbangannya, nilai perlindungan hukum yang dihasilkan bagi para pemegangnya mengandung kadar kepastian yang dapat dikatakan paling tinggi.[2]
Banyaknya tanah di Indonesia yang masih belum jelas status kepemilikannya merupakan pemicu konflik di dalam masyarakat, akibat luasan dari konflik tersebut memunculkan apa yang biasa disebut dengan sengketa. Sengketa tanah tersebut melibatkan berbagai pihak baik antara instansi pemerintah tertentu dengan masyarakat maupun masyarakat dengan masyarakat itu sendiri. Salah satu bentuk tanah yang memicu konflik di masyarakat Indonesia adalah munculnya tanah timbul atau tanah oloran.
Tanah tersebut merupakan sumber daya alam baru yang secara ekonomis potensial untuk pertanian tambak di wilayah Indonesia, namun demikian munculnya tanah timbul (aanslibbing) ditepi sungai atau pantai tersebut dapat menimbulkan kepemilikan atas tanah oleh masyarakat. Proses terjadinya kepemilikan atas tanah timbul (aanslibbing) adalah melalui proses evolusi yang terjadi bertitik awal dari adanya tanah tak bertuan (res nullius). Pemerintah menyadari bahwa masalah pertanahan tersebut perlu
ditangani dengan segera. Tanpa penanganan masalah secara komprehensif dan sesegera mungkin maka sulit bagi bangsa Indonesia untuk membangun kembali tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang sehat dan berkeadilan.
Saat ini komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah pertanahan tersebut sudah mendapatkan legitimasi yang sangat kuat yaitu dengan disahkannya Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menetapkan prinsip-prinsip dan arah kebijakan pembaruan agraria dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan. Ketetapan tersebut memberikan
mandat kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan peraturan dan perundang-undangan maupun penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang kesemuanya diletakkan dalam kerangka membangun kesejahtraan rakyat yang berkelanjutan.

BAB II
Permasalahan

Akhir-akhir ini banyak pertanyaan dari beberapa pihak mengenai status tanah-tanah timbul, tanah reklamasi dan juga tanah reklamasi dii atas bekas tanah hak yang hilang karena abrasi atau terkena bencana alam lainnya.
Untuk menertibkan tanah-tanah tersebut,  perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Tanah-tanah yang hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau hilang karena longsor, tertimbun atau gempa bumi, atau pindah ke tempat lain karena pergeseran tempat (land slide) maka tanah-tanah tersebut dinyatakan hilang dan haknya hapus dengan sendirinya. Selanjutnya pemegang haknya tidak dapat minta ganti rugi kepada siapa-pun dan tidak berhak menuntut apabila di kemudian hari di atas bekas tanah tersebut dilakukan reklamasi/penimbunan dan/atau pengeringan (polder).
2. Tanah-tanah reklamasi dinyatakan sebagai tanah yang dikuasai oleh negara dan pengaturannya dilaksanakan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pihak yang melakukan reklamasi dapat diberikan prioritas pertama untuk mengajukan permohonan hak atas tanah reklamasi tersebut.
3. Tanah-tanah timbul secara alami seperti delta, tanah pantai, tepi danau/situ, endapan tepi sungai, pulau timbul dan tanah timbul secara alami lainnya dinyatakan sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Selanjutnya penguasaan/pemilikan serta penggunaannya diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
4. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas maka para Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi agar segera melakukann inventarisasi tanah-tanah timbul dan tanah hilang yang terjadi secara alami. Untuk tanah yang hilang apabila sudah ada sertifikatnya agar disesuaikan. Untuk tanah yang akan direklamasi sebelumnya harus diberi tanda-tanda batasnya sehinggaa bisa diketahui luas tanah yang nantinya selesai direklamasi.

BAB III
Pembahasan
Istilah Tanah Timbul (Aanslibbing)
Tanah timbul yang didalam bahasa Inggris disebut deltaber atau channelbar, di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah aanslibbing, sedangkan di dalam bahasa Indonesia biasanya disebut dengan tanah tumbuh atau tanah timbul [3]
Sementara itu Widyanto (1997:2-3) memberikan pengertian bahwa tanah oloran atau tanah timbul merupakan tanah hasil endapan (sedimentasi) Lumpur sebagai akibat banjir sungai yang berhenti di suatu tempat dan mengendap kemudian muncul menjadi
tanah.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dianut hukum tertulis dan tidak tertulis, hal ini ditegaskan pada penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 “disampingnya undang-undang dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, yaitu ”aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”. Dari kalimat diatas tertuang politik hukum dalam penyusunan peraturan perundangundangan baru di Indonesia. Dalam UUPA sikap tersebut tertuang pada penjelasan bagian III sub (1)“…..hukum agraria yang baru harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat banyak”.[4]
Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula kepada ketentuan-ketentuan hukum adat sebagai hukum asli yang disempurnakan (di saneering)dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern. Politik hukum agraria ini juga tertuang pada pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat. Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Indonesia tidak menganut salah satu teori hukum positif (hukum tertulis) atau hukum idealis (yang ada di tengah masyarakat), tetapi gabungan dari keduanya. Penggunaan keduanya adalah dalam tujuan agar hukum itu dapat berguna
dalam menyelesaikan pertentangan kepentingan yang ada di tengah masyarakat.
Berkenaan dengan munculnya tanah timbul di tepi sungai dan pantai yang dikenal dengan istilah tanah oloran, sampai saat ini belum diatur secara eksplisit atau tersurat dalam suatu peraturan perundangan tertulis, tetapi dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa[5] : Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 Undang- Undang Dasar 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang ada di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Hak menguasai dari negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: Pertama mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi dan ruang angkasa tersebut. Kedua menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. Ketiga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan Penguasaan tanah timbul (aanslibbing) sebagai dasar untuk memperoleh hak milik atas tanah hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan peraturan pemerintah.
Meski dari ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah jelas, namun demikian tanah timbul atau tanah oloran di tepi sungai atau pantai seringkali dianggap menjadi kepunyaan orang yang memiliki tanah yang berbatasan, karena biasanya pertumbuhan tanah tersebut sedikit banyak terjadi karena usahanya. Dengan demikian terjadinya hak milik secara demikian
itu juga melalui suatu proses pertumbuhan yang memakan waktu.
Uraian tersebut diatas baik resmi maupun pendapat perorangan menunjukkan terjadinya hak milik atas tanah menurut hukum adat adalah melalui pembukaan tanah sebagaimana telah dikenal secara tradisional dalam masyarakat hukum adat Indonesia.
Dalam perkembangannya apa yang digariskan melalui pasal 46 UUPA yang menegaskan “hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur dengan peraturan pemerintah”.
Terbentuknya hak atas tanah yang berasal dari nilai-nilai yang berkembang di tengah masyarakat merupakan doktrin hukum yaitu ubi societas ibi ius (pada setiap masyarakat dan kelompok masyarakat mempunyai hukumnya sendiri).
Di Indonesia upaya pembangunan hukum pertanahan dilakukan dengan memadukan dua ajaran atau aliran hukum. Penerapan ajaran atau aliran pikiran hukum yang dipelopori Von Savigny terungkap dalam penjelasan umum angka III UUPA yang mengemukakan bahwa “….hukum agraria yang baru sesuai dengan kesadaran hukum rakyat banyak dan didasarkan kepada hukum adat sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang
modern…”. [6]
Penerapan ajaran atau aliran pikiran hukum Roscoe Pound ditunjukkan oleh tujuan dan fungsi hukum yang dibentuk yaitu mengadakan perubahan pola penguasaan dan pemilikan tanah dalam masyarakat. Semula penguasaan tanah di sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat komunal dan tanpa bukti tertulis. Melalui UUPA diintroduksikan sistem penguasaan dan pemilikan tanah yang menyeluruh dan pada akhirnya dapat dibuktikan. Di dalam penguasaan dan pemilikan itu individu ditampilkan sebagai orang yang memiliki hak sehingga menunjukkan pergerakan dari system komunal ke individu.
Seperti halnya hukum yang dimiliki oleh masyarakat untuk tanah timbul atau tanah oloran di tepi sungai atau pantai yang semula belum adanya UUPA telah menggunakan aturan-aturan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku, yakni penguasaan
dan pemilikan tanah timbul atau tanah oloran dilakukan dengan cara pendudukan tanah atau membuka tanah tak bertuan dengan tanpa izin siapapun kecuali kepala adat atau tokoh masyarakat, sekarang berubah menjadi bentuk adanya pengajuan permohonan oleh masyarakat kepada kepala desa setempat. Namun seiring dengan adanya pengetahuan, informasi serta sosialisai mengenai pertanahan, tanah timbul / tanah oloran telah dilakukan upaya untuk melakukan pendaftaran terhadap penguasaan hak atas tanahnya, sehingga menjadi hak milik dalam dan dokumen bukti penguasaannya berupa sertifikat. Ini menunjukkan adanya perubahan status yang dulunya mereka menguasai secara fakta, namun demikian dengan adanya pendaftaran tanah dan menjadi sertifikat status penguasaan tanah dan pemilikan tanahnya secara yuridis menjadi tanah hak milik.
Dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah oloran peneliti telah menyaksikan peranan dari berbagai kelompok sosial atau individu dalam menentukan arah perkembangan hukum di dalam masyarakat. Peran hukum adat ternyata tidak hanya terbatas pada pengambilan inisiatif dalam hukum ketika sumber hukum lain tidak memberikan jawaban, karena hukum adat pada kenyataannya juga mempunyai peran yang penting yang harus dimainkan dalam masalah aplikasi hukum yang muncul.
Adanya evolusi terhadap tanah tak bertuan (res nullius) untuk sampai pada tahap timbulnya penguasaan dan pemilikan atas tanah timbul atau tanah oloran itu adalah karena proses pemilikannya bergantung pada perkembangan budaya masyarakat setempat (proses alamiah).
Dengan melihat realitas hukum yang ada di Jawa setiap orang yang membuka tanah (liar) kosong, membuka hutan diperbolehkan mempunyai hak milik atas tanah (erfelijk indiviueel bezits recht) yang sejalan dengan konsep hukum adat. Sehingga cara perolehan hak milik secara adat bagi warga desa terhadap tanah timbul / tanah oloran masih memungkinkan selama UUPA mengakui keberadaan hukum adat.
Sebagaimana dijelaskan pasal 5 UUPA yang menyatakan “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa dalam hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia.
 Dari pasal ini dapat diketahui bahwa latar belakang, sejarah dan proses penyusunan serta dasar berfikir penyusunan UUPA menunjukkan bahwa Undang-Undang ini merupakan hukum yang terbentuk berdasarkan kesadaran hukum masyarakat hukum adat. Hal ini ditegaskan pada penjelasan umum angka 1 UUPA bahwa “… Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum Penguasaan tanah timbul (aanslibbing) sebagai dasar untuk memperoleh hak milik atas tanah asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat.
Keberadaan hukum adat yang dimiliki masyarakat dalam perolehan tanah timbul atau tanah oloran, masih mempunyai tempat manakala kita hadapkan kepada pasal 56 UUPA yang menyatakan bahwa: Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagaimana tersebut dalam pasal 51 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan hukum adat setempat. Pasal 5 UUPA secara implisit tidak menegaskan doktrin hukum mana yang akan diberlakukan di tengah masyarakat. Citacita
UUPA adalah mewujudkan kepastian hukum tanah di Indonesia dan dengan kesatuan hukum yang diberlakukan untuk seluruh wilayah. Ketidak tegasan pasal 5 UUPA tersebut secara implisit juga mengakui adanya pluralisme hukum, yaitu hukum adat yang dianut oleh berbagai masyarakat hukum adat di Indonesia.
Ketidak tegasan tersebut mengakibatkan hukum tertulis (UUPA) dihadapkan kepada dua keadaan, yaitu kepastian dan ketidakpastian, lebih lanjut akan dihadapkan pula kepada pertanyaan dan tuntutan tentang kesebandingan masalah dan pertanyaan ini akan selalu timbul bila berhadapan dengan tiga kepentingan, yaitu kepentingan individu,
masyarakat hukum adat dan negara dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Negara RI.
Dengan demikian melihat kenyataan yang ada di Indonesia masih terdapat pluralisme hukum di bidang pertanahan khususnya yang berkaitan dengan tanah timbul atau tanah oloran. Wujud pluralisme hukum tersebut nampak jelas di lapangan, yaitu ada
dua sistem yang berlaku dan menjadi dasar hukum bagi para pihak. Dua sistem hukum tersebut adalah hukum adat/lokal (tidak tertulis), hukum Negara (tertulis) : PP 224/tahun 1961 sebagai penjabaran dari Undang-Undang nomor 56/Prp/tahun 1960 telah berlaku secara bersama dan digunakan sebagai dasar hukum oleh para pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah oloran.

BAB IV
Penutup

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan wujud unifikasi hukum pertanahan nasional karena UUPA telah menjebol sistem hukum kolonial yang pluralistis. Dalam kenyataannya, saat ini masih terdapat pluralisme hukum dibidang pertanahan khususnya yang berkaitan dengan tanah timbul atau tanah oloran. Wujud pluralisme hukum tersebut tampak jelas di lapangan yaitu, bahwa hukum Negara (hukum tertulis) seperti UU No. 56/Prp tahun 1960 tentang pembagian tanah dan pemberian ganti rugi yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 224 tahun 1961, PP No. 41 tahun 1964 dan PP No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah serta hukum local (tidak tertulis) berlaku secara bersama-sama dan digunakan sebagai dasar oleh para pihak dalam melaksanakan penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah oloran.
Hukum agraria nasional (UUPA) sesungguhnya secara materiil memuat ketentuan-ketentuan yang bersumber kepada hukum adat, hukum perdata barat dan hukum Islam. Sifat dan karakter UUPA yang populis, menghargai budaya asli bangsa (hukum adat), mementingkan jiwa kesatuan dan persatuan, menonjolkan peranan negara yang mempunyai hak menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tanpa menafikan hak individual adalah modal sekaligus sarana bagi usaha mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Tujuan penguasaan dan pemilikan tanah itu adalah digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Disini dianut asas pemerataan, yakni bukan kemakmuran orang perorang yang dituju, tetapi kemakmuran seluruh rakyat, yang berarti
kemakmuran perseorangan yang telah atau akan dicapai tidak boleh menyebabkan orang lain terhalang mencapai kemakmuran.
Dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah olorani seringkali dibutuhkan penguasaan fisik yang kongkrit dan adanya intensitas de facto penggunaan atau penggarapan manusia atas tanah tersebut. Semakin intens penggarapan, maka semakin utuh pula hubungan antara manusia dengan tanahnya, sehingga semakin kukuh pula penguasaan atas tanah tersebut.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah oloran, hendaknya pemerintah segera menyusun kebijakan baru tentang hak milik atas tanah sehingga ada dasar hukum yang jelas bagi Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan hak milik kepada masyarakat yang telah menguasai dan memiliki tanah timbul atau tanah oloran.
Efektifitas penyuluhan hukum pada masyarakat berkenaan dengan penguasaan dan pemilikan tanah timbul atau tanah oloran perlu ditingkatkan, agar masyarakat sadar dan mengerti tentang status tanah tersebut yang muncul di perairan pantai. Mengharapkan kepada pejabat pemerintah yang terkait dengan pelaksanaan pendaftaran tanah, khususnya tanah yang dihasilkan dari tanah timbul atau tanah oloran, untuk ikut aktif berperan dengan memasyarakatkan pensertipikatan tanah. Karena selama ini ada sebagian masyarakat yang mempunyai anggapan bahwa mereka cukup aman dengan hanya memegang atau memiliki surat segel tanah atau Surat Izin Menggarap (SIM) tanah, tanpa berkeinginan untuk mendaftarkan tanah tersebut menjadi sertifikat. Pihak aparat pendaftaran tanah diharapkan mampu meningkatkan profesionalisme dibidang pensertifikatan sehingga bisa membantu dan memperlancar proses pendaftaran tanah.


[1] Boedi Harsono, S.H., Hukum Agraria Indonesia : Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah. Djambatan. Jakarta. Hal 26-27
[2] Purbacaraka dan Halim, 1982:64
[3] Burings, 1983 dalam Sulistriono, 2000. Pluralisme Hukum dan Permasalahan Pertanahan: Kasus Penguasaan Tanah Timbul di Muara Sungai Citandui, dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta:185
[4] Ibid. Hal. 35
[5] Ibid. Hal 11
[6] Rofi Wahanisa dan Arif Hidayat. 2009. “Penguasaan tanah timbul (aanslibbing) sebagai dasar untuk memperoleh hak milik atas tanah”, Prisma, 1, Hal 4

No comments:

Post a Comment