1. Pendahuluan
![]() |
Sumber : Google |
Tak hanya itu, kewenangan MK pun diperluas dengan
diberikannya kepercayaan untuk memutus sengketa Pemilu, pembubaran partai
politik, hingga memutus sengketa antara lembaga negara. Dalam Bab IX UUD 1945
tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 24 C ayat (1) dan (2) menyebutkan : ” Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. ’’
Mahkamah Konstitusi di banyak negara
ditempatkan sebagai elemen penting dalam sistem negara konstitusional modern.
Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan dorongan dalam penyelenggaraan
kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Kewenangan konstitusional
Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks
and balancesyang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara
sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi
kinerja antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi melalui amandemen ke-4 UUD
1945 telah menjadi salah satu pemegang kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah
Agung, dan konstitusi telah memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi, diantaranya adalah kewenangan untuk melakukan pengujian (judicial review) suatu Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar. [3]
Kewenangan tersebut selanjutnya diatur
lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang disahkan pada tanggal 13 Agustus tahun 2003. Pengujian yang dilakukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 terbatas pada pengujian apakah
materi dan pembuatan suatu Undang-Undang telah sesuai dengan Undang-Undang
Dasar. Sedangkan pengujian atas peraturan lain di bawah Undang-Undang dilakukan
di Mahkamah Agung dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun
1999 tentang Gugatan Uji Materiil. Judicial
Review pada prinsipnya
merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang
ditetapkan oleh cabang kekuasaan Legislatif, Eksekutif, maupun Yudikatif.
Pengujian oleh Hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative act) dan cabang kekuasaan
eksekutif (executive act) merupakan konsekuensi dianutnya prinsip check and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan (separation
of power). Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or
division of power) yang
tidak mengidealkan prinsip check
and balances, kewenangan
untuk melakukan pengujian semacam itu berada di tangan lembaga yang membuat
aturan itu sendiri.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan
prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam
kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling
mengoreksi kinerja antar lembaga negara.
Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan
yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini mengatur mengenai syarat calon hakim
konstitusi secara jelas. Di samping itu, diatur pula ketentuan mengenai
pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan secara transparan dan
partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi secara obyektif dan akuntabel. Hukum
acara yang diatur dalam Undang-Undang ini memuat aturan umum beracara di muka
Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing
perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk
melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini. Mahkamah Konstitusi dalam
menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan
secara sederhana dan cepat.
2.
Pembahasan
Ad. 1 Pembubaran Partai Politik
Terkait dengan keberadaan Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan negara dalam kehidupan
yang demokrasi, perlu kiranya memahami kewenangan-kewenangan Mahkamah
Konstitusi, khususnya terkait dengan proses kehidupan bernegara yang menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat, dan memberikan rakyat kebebasan untuk menentukan
kehidupannya. Dalam kehidupan berdemokrasi disuatu negara hukum yang menjunjung
tinggi hak asasi manusia, dimana hak berserikat dan berkumpul termasuk didalamnya,
kiranya kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal memutus pembubaran Partai
politik perlu ditinjau. Sehubungan dengan keberadaan partai politik sebagai
salah satu sarana kehidupan berdemokrasi yang menjadi hak asasi setiap warga
negara.
Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengatur tentang pembubaran Partai Politik dalam Pasal 24C
ayat (1) yang berbunyi: Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk memutus pembubaran partai politik. Begitu
pula dalam Pasal 20 Undang Undang No. 31 Tahun 2003 Tentang Partai Politik,
ditegaskan bahwa partai politik bubar apabila membubarkan diri atas keputusan
sendiri; menggabungkan diri dengan partai politik lain; dan terakhir dibubarkan
oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan yang jelas dan tegas menentukan alasan
hukum bagi partai politik untuk dibubarkan terdapat pada Pasal 28 ayat (6) UU
No. 31 Tahun 2002 yang berbunyi:
Pengurus partai menggunakan partainya untuk
melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) dituntut
berdasarkan Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang
Undang Tentang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara dalam Pasal 107 huruf e, huruf d, dan huruf e, dan partainya dapat
dibubarkan.
Pasal 107 Undang Undang No. 27 Tahun
1999 Tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana tersebut berbunyi: “Barangsiapa
yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui
media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam
masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian dalam masyarakat, atau
menimbulkan korban jiwa atau kerugian dalam masyarakat, atau menimbulkan korban
jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun.
“Barangsiapa yang secara melawan hukum
dimuka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apa pun, menyebarkan
atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah
atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 20 (dua puluh) tahun.
a. Barangsiapa yang mendirikan
organisasi yang diketahui atau pun diduga menganut ajaran Komunisme/Marxixme-Leninisme
atau dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. Barangsiapa yang mengadakan hubungan
dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun diluar
negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxixme-Leninisme atau
dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau
menggulingkan Pemerintah yang sah.
Maksud tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah bahwa
pembentukan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, maksud, tujuan, asas,
program kerja dan perjuangan Partai Politik tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang Undang No. 31 Tahun 2002 Tentang
Partai Politik, berdirinya suatu partai digariskan sebagai berikut:
(1) Asas partai politik tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
(2) Setiap partai politik dapat mencantumkan
ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan cita-citanya yang tidak bertentangan
dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
undang-undang.
(1) Tujuan umum partai politik
adalah:
a.
mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ; dan
c.
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia .
d.
cita-citanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
(2) Tujuan khusus partai politik adalah
memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(3) Tujuan partai politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional.
Kemudian mengenai larangan bagi
suatu partai ditegaskan sebagai berikut:
(1) Partai Politik dilarang menggunakan
nama, lambang atau tanda gambar yang sama dengan :
a.
bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b.
lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c.
nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang
lembaga/badan internasional;
d.
nama dan gambar seseorang; atau
e.
yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai
politik lain.
(2) Partai politik dilarang :
a.
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya;
b.
melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; atau
c.
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam
memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara
ketertiban dan perdamaian dunia.
(3) Partai politik dilarang :
a.
menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa
pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
b.
menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa
mencantumkan identitas yang jelas; atau
c.
meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi
kemanusiaan.
(4) Partai politik dilarang mendirikan
badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.
(5) Partai politik dilarang
menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Dengan demikian, dari pemaparan
pasal-pasal pada perundang-undangan yang berbeda diatas, dapat disimpulkan
bahwa indikator penting yang diperhatikan Mahkamah Konstitusi dalam proses
pembubaran Partai Politik, adalah mengacu kepada:
1. Ideologi Partai
2. Asas Partai
3. Tujuan Partai
4. Program Partai
5. Kegiatan Partai Politik yang bersangkutan.
Pasal
68 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Bagian
Kesepuluh Mengenai Pembubaran Partai Politik menyebutkan:
(1)
Pemohon adalah Pemerintah
(2)
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi,
asas,
tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap
bertentangan
dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, pembubaran partai politik dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan pemerintah, atau dalam hal ini lembaga eksekutif. Dalam permohonannya pemerintah harus memaparkan alasan seputar pembubaran tersebut, berdasarkan indikator-indikator diatas, yaitu Ideologi Partai, Asas Partai, Tujuan Partai, Program Partai, Kegiatan Partai Politik yang bersangkutan. Sehingga sesuai dengan hukum yang mengatur tentang mekanisme pembubaran partai oleh Mahkamah Konstitusi.
Kemudian yang dapat menjadi alat bukti sah terkait pembubaran suatu partai politik, adalah:
1. Berkas Anggran Dasar
Dengan demikian, pembubaran partai politik dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan pemerintah, atau dalam hal ini lembaga eksekutif. Dalam permohonannya pemerintah harus memaparkan alasan seputar pembubaran tersebut, berdasarkan indikator-indikator diatas, yaitu Ideologi Partai, Asas Partai, Tujuan Partai, Program Partai, Kegiatan Partai Politik yang bersangkutan. Sehingga sesuai dengan hukum yang mengatur tentang mekanisme pembubaran partai oleh Mahkamah Konstitusi.
Kemudian yang dapat menjadi alat bukti sah terkait pembubaran suatu partai politik, adalah:
1. Berkas Anggran Dasar
2. Berkas Anggaran Rumah Tangga
3. Laporan-Laporan, serta surat-surat mengenai keterangan
pihak-pihak terait.
4. Saksi
5.
Keterangan Pihak-pihak terkait, dan
6.
Alat-alat bukti lainnya.
Menurut
Jimly, pembubaran Partai Politik dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi,
apabila suatu partai politik terbukti melakukan:
1.
Kegiatan yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2.
Kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dibawah Undang
Undang
Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
3.
Kegiatan yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia ;
4.
Kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah dalam memelihara
persahabatan
dengan
negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia.
[1] Prof. Jimly Ashiddiqie, Sejarah Constitutional
Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
[2] Menurut Sri Sumantri dalam Mekanisme Judicial Review, ELSAM
(Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) 2005 menyebutkan bahwa “…Hak menguji
materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah
suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende
acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji
materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
[3] Analisis Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Dalam Melakukan Pengujian Suatu Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial Review) Di Indonesia
No comments:
Post a Comment