Thursday, 15 November 2012

Pembubaran Partai Politik dalam Hukum Acara MK



1.      Pendahuluan

Sumber : Google
Lebih dari satu dekade, eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia makin menguat seiring dengan urgensi wewenang lembaga tersebut sebagai penguji undang-undang. Sejarah pendiriannya pun beragama, Jimly dalam artikelnya menyebutkan bahwa sejarah dan politik hukum pendirian Mahkamah Konstitusi diilhami dari kasus Madison vs Marbury yang kontroversial tersebut. [1] Apalagi, saat itu dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia belum ada lembaga khusus yang menangani persoalan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Judicial Review[2].
Tak hanya itu, kewenangan MK pun diperluas dengan diberikannya kepercayaan untuk memutus sengketa Pemilu, pembubaran partai politik, hingga memutus sengketa antara lembaga negara. Dalam Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 24 C ayat (1) dan (2) menyebutkan : ” Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. ’’
            Mahkamah Konstitusi di banyak negara ditempatkan sebagai elemen penting dalam sistem negara konstitusional modern. Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balancesyang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi melalui amandemen ke-4 UUD 1945 telah menjadi salah satu pemegang kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, dan konstitusi telah memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah kewenangan untuk melakukan pengujian (judicial review) suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. [3]
Kewenangan tersebut selanjutnya diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus tahun 2003. Pengujian yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 terbatas pada pengujian apakah materi dan pembuatan suatu Undang-Undang telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Sedangkan pengujian atas peraturan lain di bawah Undang-Undang dilakukan di Mahkamah Agung dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1999 tentang Gugatan Uji Materiil. Judicial Review pada prinsipnya merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan Legislatif, Eksekutif, maupun Yudikatif. Pengujian oleh Hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative act) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive act) merupakan konsekuensi dianutnya prinsip check and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan (separation of power). Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak mengidealkan prinsip check and balances, kewenangan untuk melakukan pengujian semacam itu berada di tangan lembaga yang membuat aturan itu sendiri.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara.
Untuk mendapatkan hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, Undang-Undang ini mengatur mengenai syarat calon hakim konstitusi secara jelas. Di samping itu, diatur pula ketentuan mengenai pengangkatan dan pemberhentian, cara pencalonan secara transparan dan partisipatif, dan pemilihan hakim konstitusi secara obyektif dan akuntabel. Hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang ini memuat aturan umum beracara di muka Mahkamah Konstitusi dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut Undang-Undang ini. Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat.
2.      Pembahasan
Ad. 1 Pembubaran Partai Politik
Terkait dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan negara dalam kehidupan yang demokrasi, perlu kiranya memahami kewenangan-kewenangan Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait dengan proses kehidupan bernegara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, dan memberikan rakyat kebebasan untuk menentukan kehidupannya. Dalam kehidupan berdemokrasi disuatu negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana hak berserikat dan berkumpul termasuk didalamnya, kiranya kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal memutus pembubaran Partai politik perlu ditinjau. Sehubungan dengan keberadaan partai politik sebagai salah satu sarana kehidupan berdemokrasi yang menjadi hak asasi setiap warga negara.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur tentang pembubaran Partai Politik dalam Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi:  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus pembubaran partai politik.  Begitu pula dalam Pasal 20 Undang Undang No. 31 Tahun 2003 Tentang Partai Politik, ditegaskan bahwa partai politik bubar apabila membubarkan diri atas keputusan sendiri; menggabungkan diri dengan partai politik lain; dan terakhir dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan yang jelas dan tegas menentukan alasan hukum bagi partai politik untuk dibubarkan terdapat pada Pasal 28 ayat (6) UU No. 31 Tahun 2002 yang berbunyi:  Pengurus partai menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang Undang Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang Undang Tentang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf e, huruf d, dan huruf e, dan partainya dapat dibubarkan.
Pasal 107 Undang Undang No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana tersebut berbunyi: “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
“Barangsiapa yang secara melawan hukum dimuka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
a. Barangsiapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau pun diduga menganut ajaran Komunisme/Marxixme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. Barangsiapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun diluar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxixme-Leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Maksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah bahwa pembentukan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, maksud, tujuan, asas, program kerja dan perjuangan Partai Politik tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang Undang No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, berdirinya suatu partai digariskan sebagai berikut:
(1) Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
(2) Setiap partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan kehendak dan cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan undang-undang. 
(1) Tujuan umum partai politik adalah: 
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 
c. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. 
d. cita-citanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 
(2) Tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Tujuan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan secara konstitusional. 
Kemudian mengenai larangan bagi suatu partai ditegaskan sebagai berikut:
(1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang atau tanda gambar yang sama dengan : 
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; 
b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; 
c. nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan internasional; 
d. nama dan gambar seseorang; atau 
e. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik lain. 
(2) Partai politik dilarang : 
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya; 
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau 
c. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia. 
(3) Partai politik dilarang : 
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 
b. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; atau 
c. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan. 
(4) Partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. 
(5) Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme. 
Dengan demikian, dari pemaparan pasal-pasal pada perundang-undangan yang berbeda diatas, dapat disimpulkan bahwa indikator penting yang diperhatikan Mahkamah Konstitusi dalam proses pembubaran Partai Politik, adalah mengacu kepada:
1. Ideologi Partai
2. Asas Partai
3. Tujuan Partai
4. Program Partai
5. Kegiatan Partai Politik yang bersangkutan.
Pasal 68 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Bagian
Kesepuluh Mengenai Pembubaran Partai Politik menyebutkan: 
(1) Pemohon adalah Pemerintah
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi,
asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian, pembubaran partai politik dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan pemerintah, atau dalam hal ini lembaga eksekutif. Dalam permohonannya pemerintah harus memaparkan alasan seputar pembubaran tersebut, berdasarkan indikator-indikator diatas, yaitu Ideologi Partai, Asas Partai, Tujuan Partai, Program Partai, Kegiatan Partai Politik yang bersangkutan. Sehingga sesuai dengan hukum yang mengatur tentang mekanisme pembubaran partai oleh Mahkamah Konstitusi.
Kemudian yang dapat menjadi alat bukti sah terkait pembubaran suatu partai politik, adalah:
1. Berkas Anggran Dasar
2. Berkas Anggaran Rumah Tangga
3. Laporan-Laporan, serta surat-surat mengenai keterangan pihak-pihak terait.
4. Saksi
5. Keterangan Pihak-pihak terkait, dan
6. Alat-alat bukti lainnya. 
Menurut Jimly, pembubaran Partai Politik dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, apabila suatu partai politik terbukti melakukan: 
1. Kegiatan yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Kegiatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dibawah Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Kegiatan yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4. Kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah dalam memelihara persahabatan
dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia. 



[1] Prof. Jimly Ashiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
[2] Menurut Sri Sumantri dalam Mekanisme Judicial Review, ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) 2005 menyebutkan bahwa “…Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
[3] Analisis Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Melakukan Pengujian Suatu Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial Review) Di Indonesia

No comments:

Post a Comment