![]() |
Sumber : Google |
Semenjak
turunnya rezim Soeharto pada Mei 1998, perlahan tapi pasti pemerintah telah
menatap keseriusan membangun sistem demokrasi yang lebih akomodatif. meretas
jalan panjang menuju asa yang mulia itu ditandai dengan menghapus Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Sudah menjadi rahasia umum, diterbitkannya regulasi
SIUPP adalah satu bentuk mekanisme membatasi ruang gerak pers yang semakin
direstriksi. kontrol pemerintah terhadap kebebasan pers semakin nyata dengan
intervensi pemerintah yang dapat mencabut sewaktu-waktu perusahaan pers.
pembredelan dapat saja dilakukan sewaktu-waktu bilamana terdapat ketidak
sesuaian alur berpikir pemerintah dengan pers.
Akan
tetapi, ditengah-tengah 12 tahun euforia reformasi kebebasan pers kini dapat
dikatakan lebih baik dan laik ketimbang rezim orde baru. pada tahun 2010 saja,
Indonesia masih bertengger mendahului negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam
indeks kebebasan pers (IKB). menurut data yang dirilis www.freedomhouse.org
pemeringkatan IKB seluruh negara menempatkan Indonesia masih bertengger pada
peringkat 107 dunia dengan meraih poin 52. angka ini cukup membawa Indonesia
mendahului negara-negara Asean lainnya dalam hal kebebasan pers.
kendati
demikian, bukan berarti kebebasan pers di Indonesia bukan tanpa masalah.
pemaknaan kebebasan pers seringkali mengalami disorientasi makna perihal
pewartaan yang dilakukan jurnalis. tak hanya itu, kekerasan yang dilakukan
terhadap jurnalis kerap mewarnai percaturan si kuli tinta.
sebagai
komparasi, implementasi sistem demokrasi yang lebih baik lewat kebebasan pers
dapat dilihat dengan semakin menjamurnya media-media alternatif di Indonesia.
pers mahasiswa kerap menjadi satu wahana alternatif publik dalam hal
penyampaian informasi publik. meskipun media satu ini kerap terkendala masalah
finansial lantaran berorientasi non profit. pers mahasiswa tumbuh bak jamur.
hampir disetiap institusi perguruan tinggi, persma yang bertansformasi lewat
UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) perlahan menamapakkan eksistensinya.
khas dengan balutan kritis ala mahasiswa membuat pers mahasiswa mendapatkan tempat tersendiri ditengah-tengah masyarakat. sterilnya berbagai macam kepentingan yang masuk didalamnya membuat media ini tetap fokus dalam ranah independensinya. kendati, bukan tidak mungkin masih saja ada unsur-unsur kepentingan golongan (Vested Interest) yang masuk dalam ranah pers mahasiswa. hal inilah yang coba saya singkap betapa semangat ala pers mahasiswa seharusnya dapat menjadi cerminan pers konvensional (media mainstream). sangat kontraporduktif. persma yang non profit harus mendapat cambukan keras dari sang kakak yang kerap goyah dengan semangat independensinya. muaranya bermula pada kepemilikan media yang terpusat. pusaran media di Indonesia yang sentralistik membuat kinerja wartawan semakin sulit. masuknya pusaran media di Indonesia ke ranah politik kerap menjual independensi pers yang mendapatkan "titipan". tak hanya itu wacana industrialisasi media semakin mereduksi prinsip kerja pers yang dipaparkan Bill Kovach berupa 9+1 elemen jurnalistik. Aliansi Jurnalis Independen bahkan merilis Annual Report tahunan yang menyebutkan pertumbuhan dan laju kepemilikan media yang terpusat merundung banyak masalah. tak hanya itu, wacana industrialisasi media kerap memunculkan adagium baru yakni "wartawan amplop". kualitas jurnalistik yang khas dengan kritik sosialnya berubah menjadi berita advertorial ala politis yang semakin menunjukan pancaran pencitraan politisi. porsi berita dan iklan pun kini relatif seimbang. padahal, karya jurnalistik lewat berita merupakan hal yang utama. sebagai contoh konkrit, KKG adalah bentuk industrialisasi media yang berhasil dengan komersialisasi melimpah ruah. pada tahun 2001 saja lewat Annual Report AJI 2004 total omset KKG mencapai Rp 1,05 Triliyun. bayangkan, berapa banyak percikan rupiah yang mampir kekantong Jakob Oetama pada 2011 ini.
khas dengan balutan kritis ala mahasiswa membuat pers mahasiswa mendapatkan tempat tersendiri ditengah-tengah masyarakat. sterilnya berbagai macam kepentingan yang masuk didalamnya membuat media ini tetap fokus dalam ranah independensinya. kendati, bukan tidak mungkin masih saja ada unsur-unsur kepentingan golongan (Vested Interest) yang masuk dalam ranah pers mahasiswa. hal inilah yang coba saya singkap betapa semangat ala pers mahasiswa seharusnya dapat menjadi cerminan pers konvensional (media mainstream). sangat kontraporduktif. persma yang non profit harus mendapat cambukan keras dari sang kakak yang kerap goyah dengan semangat independensinya. muaranya bermula pada kepemilikan media yang terpusat. pusaran media di Indonesia yang sentralistik membuat kinerja wartawan semakin sulit. masuknya pusaran media di Indonesia ke ranah politik kerap menjual independensi pers yang mendapatkan "titipan". tak hanya itu wacana industrialisasi media semakin mereduksi prinsip kerja pers yang dipaparkan Bill Kovach berupa 9+1 elemen jurnalistik. Aliansi Jurnalis Independen bahkan merilis Annual Report tahunan yang menyebutkan pertumbuhan dan laju kepemilikan media yang terpusat merundung banyak masalah. tak hanya itu, wacana industrialisasi media kerap memunculkan adagium baru yakni "wartawan amplop". kualitas jurnalistik yang khas dengan kritik sosialnya berubah menjadi berita advertorial ala politis yang semakin menunjukan pancaran pencitraan politisi. porsi berita dan iklan pun kini relatif seimbang. padahal, karya jurnalistik lewat berita merupakan hal yang utama. sebagai contoh konkrit, KKG adalah bentuk industrialisasi media yang berhasil dengan komersialisasi melimpah ruah. pada tahun 2001 saja lewat Annual Report AJI 2004 total omset KKG mencapai Rp 1,05 Triliyun. bayangkan, berapa banyak percikan rupiah yang mampir kekantong Jakob Oetama pada 2011 ini.
kepemilikan
media yang sentralistik dan syarat kepentingan berimplikasi pada kualitas karya
jurnalistik yang disodorkan jurnalis kepada pembaca. dapat anda bayangkan
ketika Dodi Reza yang merupakan anak kandung gubernur Sumsel Alex Noerdin
melakukan pencalonan kepala daerah Bupati Musi Banyuasin, HU Berita Pagi yang
dinakhodainya menjadi sarana ekspos jitu bagi pencalonannya. sebelumnya, sang
ayah telah mendahului strategi politik dengan menguasai media pada pilgub 2008
yang berhasil ia menangkan pasca mengalahkan Syahrial Oesman. ekspos negatif
kepada calon lawan politik kerap menghiasi halaman per halaman koran yang
berdiri pada awal 2000-an tersebut. Pun, dengan Surya Paloh setali tiga uang.
tak tanggung-tanggung sebuah stasiun televisi dan koran harian ia dirikan.
betapa rakyat disuguhi berita-berita superioritas Surya Paloh. indikasinya
adalah pencalonan sebagai wakil Golkar dalam pencalonan Presiden pada 2004.
kendati akhirnya Jend. (purn) Wiranto yang memenagkan persaingan tersebut, kini
Surya Paloh tengah merintis jalan baru menuju Indonesia Satu lewat Partai
Nasional Demokrat. kendati telah berganti baju, strategi politik dengan
menguasai media menjadi jurus yang jitu. tak ketinggalan, konglomerat media
lain digandeng demi hasrat politik menuju hirarki tertinggi. CEO MNC Grup,
Harry Tanoesodibjo bahkan kepincut bergabung bersama Surya Paloh.
terang
saja, keberadaan konglomerat media dapat membuat jurnalis semakin melarat. lain
halnya bila jurnalis tersebut hanya sekedar wartawan amplop atau wartawan
titipan yang mendapat job liputan agenda poltisi. rakyat terpaksa dibohongi
dengan agenda politik politisi yang syarat pencitraan. karya jurnalistik yang bermutu
semakin miskin lantaran wartawan yang menjunjung idealisme profesi semakin
dipersempit ruang geraknya. bukankah hak setiap orang untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak ? bila kasus demikian, akan banyak jurnalis menanggur
bergelimpangan bak deburan ombak yang menghantam kerasnya batu. ironi memang,
jurnalis berada pada persismpangan jalan yang dilematis. disatu sisi kebutuhan
keluarga semakin sulit ditambah lagi dengan komitmen profesi yang tetap
dijunjung tinggi. konglomerat media dapat membuat jurnalis melarat.
No comments:
Post a Comment