![]() |
Sumber : Google |
Kemajuan teknologi
tentunya dimanfaatkan banyak kalangan untuk menggunakannya sesuai dengan si-user berniat untuk apa dirinya melakukan
hal tersebut. Antinomy tentu selalu berlaku dalam setiap jenjang kehidupan. Ada yang menggunakan
kemajuan teknologi seperti itu dengan hal-hal yang positif, seperti memberikan
informasi publik yang dapat disebarluaskan secara kolektif. Mengingat, hampir
seluruh warga dunia terikat dan bergantung dengan efisiensi penggunaan
teknologi. Terlebih sebagai alat komunikasi dan penunjang aksesifitas.
Berbicara menyoal
kemajuan teknologi, terkhusus teknologi internet. Wadah dimana warga dunia bisa
saling berinteraksi satu sama lain secara mudah. Sudah begitu lazim
diperbincangkan. Tak dapat dipungkiri, kedekatan yang begitu intim antara
manusia dan internet begitu meluas hingga anak kecil sekalipun. Tak ayal,
hampir banyak bidang kehidupan seperti perdagangan, pendidikan, bahkan
pemerintahan sudah menyentu era siber sebagai bentuk aktualisasi kualitas bidang
yang mereka geluti. Sebagai contoh, kualitas satu perguruan tinggi dapat diukur
melalui kecanggihan tampilan web dan penyeka akses layanan informasi yang mudah
dan murah.
Namun, hal ini
tentu berbanding terbalik bilamana penggunaan alat-alat teknologi tersebut
digunakan secara negatif oleh penggunanya. Sudah banyak contoh kasus-kasus
dibidang teknologi yang merugikan banyak kalangan. Terkhusus, menyoal pencurian
data elektronik melalui dunia maya, plagiasi karya ilmiah yang dipublikasi
melalui internet, hingga kasus-kasus penipuan dalam bidang perdagangan
elektronik atau yang lebih dikenal luas sebagai electronic commerce (e-commerce).
Hal inilah yang
coba dijangkau banyak kalangan terkhusus saintifis ilmu hukum dan pakar
teknologi untuk mengentaskan persoalan dunia maya yang begitu rumit. Mengingat,
sulitnya membebankan beban pembuktian kepada terdakwa yang tersangkut persoalan
tindak pidana dunia maya (cyber crime).
Tak hanya dilakukan secara personal persoalan tindak pidana dunia maya,
pihak-pihak tidak bertanggung jawab pun secara kolektif dapat melakukan
pencurian data, penipuan, manipulasi data dan sebagainya. Tentunya, dengan
tujuan untuk meningkatkan keuntungan pribadi/kelompok.
Persoalan ini kerap
membingungkan saintifis ilmu hukum untuk menetapkan subyek hukum yang mana yang
dapat dibebankan beban pembuktian yang diklasifikasikan sebagai terdakwa tindak
pidana dunia maya. Seperti yang kita ketahui, Prof. E. Simmons telah merumuskan
lima rumusan
penting mengenai persoalan dan syarat-syarat ditindak pidananya seseroang.
Salah satunya adalah adanya campur tangan manusia. Namun, menjadi persoalan
bila pencurian dunia maya dilakukan lewat virus berupa spyware yang dapat mencuri data-data yang telah terelektronifikasi.
Kendati pada awalnya merupakan perbuatan manusia, namun dapatkah hal tersebut
dikategorikan sebagai bentuk kesalahan (dolus)
dan kelalaian (culpa).
Lantas, setelah ditetapkannya siapa
subyek hukum yang bertanggung dijawab atas tindak pidana dunia maya. Maka,
saintifis ilmu hukum akan kesulitan untuk membebankan beban pembuktian kepada
terdakwa. Secara umum, terdapat beberapa poin mengenai definisi alat bukti
digital.
- Alat bukti digital adalah semua
data yang dapat menampilkan atau menujukkan bahwa tindak kriminal terjadi
atau dapat memberi atau menghubungkan antara kriminalitas dan korbannya,
atau tindak kriminal dan pelakunya (Casey: 2000).
- Alat bukti digital adalah
informasi yang disimpan atau ditransmisikan dalam bentuk binary atau biner
(satu dari representasi umum dari data komputer) yang mungkin dibutuhkan
di persidangan (IOCE, Iternational Organization of Computer Evidence).
- Alat bukti digital adalah
informasi dan data yang memiliki nilai investigasi yang disimpan atau
ditransmisikan dengan komputer (ACPO, The Association of Chief Police
Officers).
- Alat bukti digital adalah data
digital yang mendukung atau meninggalkan hipotesis tentang kejadian
digital atau tahap dari data digital (Carrier, 2006).
Alat bukti digital memiliki kerawanan meliputi aspek
keamanan informasi, yaitu : keutuahn dan keaslian data. Otentikasi alat bukti
berarti alat bukti tersebut memenuhi syarat persidangan bahwa (a) isi dari
rekaman tidak berubah, (b) informasi dalam rekaman secara fakta berasal dari
sumber yang dipercaya, baik dari manusia ataupun mesin, dan (c) informasi
tambahan misalnya data tanggal rekaman yang akurat. Seperti halnya rekaman
dalam bentuk kertas, derajat otentikasi dapat dibuktikan melalui verbal
(pendapat kesaksian) dan alat bukti tidak langsung, jika ada, atau melalui
fitur teknologi didalam sistem atau rekaman (Reed, 1990-1991). Integritas
adalah jaminan terhadap keutuhan data digital dengan kata lain memastikan bahwa
data digital tersebut tidak dimodifikasi (ditambah, dikurang, diubah dll) oleh
pihak yang tidak berhak.Tujuan dari cek integritas adalah untuk menunjukkan
bahwa alat bukti tidak diubah dari ketika dikumpulkan, hal ini juga mendukung
proses otentikasi. Pada forensik digital, proses verifikasi integritas dari
alat bukti umumnya meliputi perbandingan antara dari sidik jari digital untuk
alat bukti digital tersebut yang diambil pada saat pengumpulan, dengan sidik
jari digital pada alat bukti saat state saat ini.
Akan sangat sulit bagi saintifis ilmu hukum untuk menjerat
terdakwa tindak pidana dunia maya. Selain sulit mengidentifikasi siapa subyek
hukum yang bertanggung jawab atas pencurian data melalui dunia maya, pembenanan
alat bukti juga sulit untuk dibuktikan. Kendati sudah terdapat alat bukti,
tentunya perlu diverifikasi terlebih dahulu apakah alat bukti tersebut memang benar
adanya dan bukan merupakan hasil manipulasi data.
Peran telematika sangat membantu peran saintifis ilmu hukum
dalam memveririfikasi setiap persoalan yang ada agar tidak menjadi bukti-bukti
palsu yang juga tentunya merugikan bagi banyak kalangan. Karena, pada dasarnya
hukum itu diciptakan untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
No comments:
Post a Comment