Thursday, 15 November 2012

Mendekonstruksi Pendidikan Hukum di Indonesia, Upaya Melepas ‘Alienasi Hukum’



Ditengah-tengah semakin kompetitifnya zaman dalam mengusung tema perubahan secara radikal yang terstruktur, menjadi fenomena tersendiri dewasa ini. Pergulatan teknis yang mengurai praktis menjadi bumbu kehidupan manusia modern abad 21. Tak ayal, peran serta perguruan tinggi sebagai gudang pencetak intelektual muda dalam mengusung tema perubahan dan subjek perubahan kultur zaman itu sendiri dibebankan.
Ramai-ramai, sejumlah Negara menyemarakan program pendidikan murah yang berkualitas namun dibarengi dengan sejumlah fasilitas representatif. Amerika Serikat sebagai Negara adikuasa tentu menjadi pilihan wahid masyarakat dunia dengan reputasi dan konlgomerasinya sebagai Negara maju. Tengok saja, data 4ICU (International College University) menunjukan indikasi positif Sembilan dari sepuluh universitas terkemuka berada di negeri Paman Sam.
Tak ayal, kebanyakan masyarakat dunia justru menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan studinya ke Amerika Serikat ketimbang Negara-negara lain. Reputasi perguruan tinggi di Amerika menjadi gambaran betapa efektifnya peranan (role) akademisi dalam bahu membahu membangun kemajuan bangsa dan Negara. Beberapa persyaratan yang menjadi signifikansi progresif terhadap keunggulan suatu universitas dapat dijadikan tolok ukur. Seperti halnya, daya saing (Compete) mahasiswa ditingkat regional maupun internasional hingga terserapnya alumni kedunia kerja.
Statistik yang menunjukan garis linear perguruan tinggi dengan kemajuan bangsa telah terpapar cukup jelas diatas. Kendati data-data yang dihasilkan tak melulu 100% benar, namun paling tidak konsekuensi logis dari sebuah perumusan data kuantitatif sebuah perguruan tinggi dapat dijadikan wacana pengembangan diri. Lantas, kemana perguruan tinggi di Indonesia ?
Dibawah Thailand dan Malaysia
Bila merujuk pada data kuantitatif yang dipubliskasikan 4ICU.org, peringkat universitas top nasional dapat dikatakan memrihatinkan. Universitas Indonesia sebagai perguruan tinggi nomor wahid di nusantara belum mampu menyaingkan dirinya dengan universitas manca Negara. UI tak berdaya ketika diadu dengan ribuan universitas manca Negara dan hanya bertengger di urutan 217 (QS Top Universities 2011). Bahkan, urutan tersebut jauh dibelakang Universiti Malaya yang berada pada ururtan 169 dan Chunglangkorn University yang duduk diposisi 171.
Tentu, melihat rentetan statistic diatas menunjukan adanya ketidak sinkronan pengelolaan universitas yang menyatu dengan tri dharma perguruan tinggi. Dismanajemenisasi kampus sering kali menjadi bumbu tak sedap gudang intelektual melalui pemberitaan nasional. Premanisme kampus kembali mencuat. Sejumlah kampus bahkan diberi label sarang anarkis. Orientasi das sein mahasiswa berbanding terbalik secara realistik.
Miris memang, namun apa mau dikata. Pemuda yang menjadi roda penggerak kemajuan bangsa ternyata belum mampu menunjukan taringnya. Mahasiswa dan pemuda sekarang terlalu sibuk dengan pergulatan dialektika politik kampus yang tak menuai makna. Ada yang menyangsikan keterlibatan mahasiswa dalam politik. Jusuf Kalla bahkan pernah mengutarakan hal senada yang menyatakan bahwa orientasi berpikir mahasiswa itu belajar bukan menghajar.
Tak hanya itu, persoalan klasik semacam fasilitas kampus terus bergulir. Semakin tumbuhnya iklim intelektual dengan ditandai semakin maraknya pendirian perguruan tinggi di Indonesia tak menuai angin segar. Tak ayal, hal tersebut justru semakin menimbulkan satu hal yang kadang-kadang problematik.
Pertanyaanya, gusarkah kita ? tentu saja tidak. Indonesia punya harapan cerah menjadi satu bangsa yang perkasa diera globalisasi. Revitalisasi kampus kiranya perlu dipertimbangkan agar tercapai satu bentuk kultur akademik yang baik. Penataan ulang berupa manajemen kampus yang lebih kapabel, kapasitas intelektual dan integritas moral yang tinggi akan mampu mengangkat pamor perguruan tinggi di Indonesia secara perlahan.
Pembenahan sistem penjaringan calon mahasiswa pun tampaknya dapat diwacanakan menjadi satu bahasan menarik. Kendati, hak setiap orang untuk mendapatkan pendidikan namun perlu dilihat pula kapasitas setiap orang untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan setiap orang lainnya. Standardisasi pembelajaran dengan mencontoh beberapa Negara yang telah secara visioner mengimplementasikan pola kerjanya kiranya patut untuk ditiru dan diterapkan di tanah air.
Pengaruh Konstruksi Sosial dalam Proses Penegakan Hukum

 H.L.A Hart dalam bukunya Law, Liberty and Morality mengajukan satu pertanyaan penting bagi kalangan intelektual hukum di dunia. Yakni, apakah hukum itu dipengaruhi oleh moralitas ?  Apakah entitas hukum itu menjadi tak terpisahkan dari pengaruh interaksi sosial penegak hukum dalam memutus satu perkara ? Apakah secara afirmasi dapat pula diajukan pertanyaaan, apakah moralitas secara implikatif berpengaruh terhadap paradigma hukum ?

Pertanyaan-pertanyaan demikian tentulah tak dapat dijawab secara simplikatif, mengingat kompleksnya konvegensi antara hukum dan moral yang menjadi perdebatan sengit diantara kaum intelektual hukum di dunia. Namun, dalam konteks sosial masyarakat Indonesia secara umum, putusan hakim sangar erat dipengaruhi oleh entitas moral yang melekat dan terinternalisasi dalam pola pemikiran penegak hukum. Karena, konstruksi sosial masyarakat dimana Ia dibesarkan memberikan pengaruh yang luar biasa dalam menjawab setiap persoalan kritis yang menyangkut tentang legitimasi hukum sebagai panglima di muka bumi.

Sudah menjadi hal yang lazim di dalam kalangan akademis, bahwa hukum itu tak selalu berbanding lurus dengan realitas di masyarakat –Das Sein dan Das Sollen­­. Cita hukum untuk menuntun masyarakat dalam kotak simetris berupa aturan tak selalu mulus dengan pola penegakan hukum di masyarakat. Secara sosiologis, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya paradoks hukum. Diantaranya, berasal dari penegak hukum itu sendiri, dapat pula karena faktor undang-undang, dan terakhir dapat terjadi karena kultur masyarakat.

Ketiganya secara implisit memiliki paralelitas dalam mengusung proses penegakan hukum yang manusiawi. Aparat penegak hukum bahkan dapat disebut sebagai simbol kekokohan fiat justitia ruat coeloum. Fungsinya sebagai corong undang-undang (bila menerapkan aliran penerapan hukum legisme) ataupun sebagai konstruktor hukum (bila menerapkan aliran penerapan hukum freirechtslehre) menjadi penting mengingat pola transisi tekstual ke kontekstual dipertaruhkan.

Hukum dapat saja menjadi sangat konservatif dari alienasi hukum berupa intrik-intrik sosial bilamana sang algojo lihai dalam memainkan peran dengan menyelimuti diri dengan filosofi Dewi Themis. Bukan malah membelalakkan mata dalam mengusung peran sebagai pengadil. Mendalam soal faktor penghambat penerapan hukum berupa aparat penegak hukum itu sendiri, pengaruh konstruksi sosial tempat dimana sang pengadil menempa diri menjadi kunci pertama.

Konstruksi sosial memicu adanya satu resonansi otak dan frekuensi pendengaran yang kemudian diformulasikan dalam proses pengolahan data di wilayah logika yang nantinya menjadi faktor penegakan hukum. Menjadi penting, seberapa baik konstruksi sosial tersebut yang berupa institusi, agama, Negara dan budaya dalam membentuk karakter dan budaya hukum yang aspiratif, memenuhi rasa keadilan masyarakat secara holistis dan memangkas kultur dan perilaku koruptif yang dapat mengkorupsi moral public dalam balutan konspirasi hukum yang terus dibudidaya sejumlah pakar hukum di Indonesia.
Cycle Diagram



Menjadi pertanyaan, apakah konstruksi sosial di masyarakat secara absolute dapat diafirmasi sebagai metode yang baik dalam memengaruhi pergaulan hukum di Indonesia?. Lantas, bagaimana dengan budaya ewuh pakewuh Jawa yang secara spiritual menyatu dalam pola tingkah laku masyarakatnya. Yang kemudian dikonversikan dalam bahasan formal berupa proses penegakan hukum? Bahkan, sejumlah pakar sebut saja Abraham Amos menyangsikan pengaruh budaya dan konstruksi sosial dalam proses penegakan hukum. Hukum punya cara sendiri dalam memutus perkara di masyarakat.Tak peduli apakah hal tersebut membelakangi moralitas yang berlaku di masyarakat sebagai residu dari konstruksi sosial. Ketika hukum erat dikaitkan dengan persoalan moralitas maka hukum akan menjadi bias ideologis.

Karena hukum ada berkat pemahamannya sendiri. Yang dikonstruksikan dalam nalar ideologis yang terlepas dari anasir-anasir asing berupa budaya agama dan institusi. Inilah yang menjadi poin kenapa proses penegakan hukum di Indonesia kerap kali goyah dalam menapal batas, bersalah tidak bersalahnya seseorang dalam proses persidangan di muka pengadilan. Karena, pengadil (Hakim) kerap dipengaruhi oleh presensi yang ditarik dari pengalaman hakim. Hal ini memunculkan stereotype yang buruk terhadap hukum. Hukum tidak lagi dipandang sebagai jurus jitu dalam mengentaskan persoalan kebangsaan, kerakyatan, dan kemanusiaan.

Hukum dijadikan sebagai komoditas dan praktik komersil yang memangkas esensi hukum itu sendiri. Pendidikan hukum menjadi rancu ketika memvonis satu persoalan. Salah satu kesimpulan yang paling krusial adalah merekonstruksi pola pendidikan hukum di Indonesia yang lepas dari alienasi berupa konstruksi sosial yang sangat kuat memengaruhi aparat penegak hukum di Indonesia. Karena, law is a liberty and morality.

No comments:

Post a Comment