Ditengah-tengah semakin kompetitifnya zaman
dalam mengusung tema perubahan secara radikal yang terstruktur, menjadi
fenomena tersendiri dewasa ini. Pergulatan teknis yang mengurai praktis menjadi
bumbu kehidupan manusia modern abad 21. Tak ayal, peran serta perguruan tinggi
sebagai gudang pencetak intelektual muda dalam mengusung tema perubahan dan
subjek perubahan kultur zaman itu sendiri dibebankan.
Ramai-ramai, sejumlah Negara menyemarakan
program pendidikan murah yang berkualitas namun dibarengi dengan sejumlah
fasilitas representatif. Amerika Serikat sebagai Negara adikuasa tentu menjadi
pilihan wahid masyarakat dunia dengan reputasi dan konlgomerasinya sebagai
Negara maju. Tengok saja, data 4ICU (International
College University )
menunjukan indikasi positif Sembilan dari sepuluh universitas terkemuka berada
di negeri Paman Sam.
Tak ayal, kebanyakan masyarakat dunia justru
menjatuhkan pilihan untuk melanjutkan studinya ke Amerika Serikat ketimbang
Negara-negara lain. Reputasi perguruan tinggi di Amerika menjadi gambaran
betapa efektifnya peranan (role) akademisi dalam bahu membahu
membangun kemajuan bangsa dan Negara. Beberapa persyaratan yang menjadi
signifikansi progresif terhadap keunggulan suatu universitas dapat dijadikan
tolok ukur. Seperti halnya, daya saing (Compete) mahasiswa ditingkat
regional maupun internasional hingga terserapnya alumni kedunia kerja.
Statistik yang menunjukan garis linear perguruan
tinggi dengan kemajuan bangsa telah terpapar cukup jelas diatas. Kendati
data-data yang dihasilkan tak melulu 100% benar, namun paling tidak konsekuensi
logis dari sebuah perumusan data kuantitatif sebuah perguruan tinggi dapat dijadikan
wacana pengembangan diri. Lantas, kemana perguruan tinggi di Indonesia ?
Dibawah Thailand dan Malaysia
Bila merujuk pada data kuantitatif yang
dipubliskasikan 4ICU.org, peringkat universitas top nasional dapat dikatakan
memrihatinkan. Universitas Indonesia
sebagai perguruan tinggi nomor wahid di nusantara belum mampu menyaingkan
dirinya dengan universitas manca Negara. UI tak berdaya ketika diadu dengan
ribuan universitas manca Negara dan hanya bertengger di urutan 217 (QS Top
Universities 2011). Bahkan, urutan tersebut jauh dibelakang Universiti Malaya
yang berada pada ururtan 169 dan Chunglangkorn
University yang duduk
diposisi 171.
Tentu, melihat rentetan statistic diatas
menunjukan adanya ketidak sinkronan pengelolaan universitas yang menyatu dengan
tri dharma perguruan tinggi. Dismanajemenisasi kampus sering kali menjadi bumbu
tak sedap gudang intelektual melalui pemberitaan nasional. Premanisme kampus
kembali mencuat. Sejumlah kampus bahkan diberi label sarang anarkis. Orientasi das sein mahasiswa berbanding terbalik secara
realistik.
Miris memang, namun apa mau dikata. Pemuda yang
menjadi roda penggerak kemajuan bangsa ternyata belum mampu menunjukan
taringnya. Mahasiswa dan pemuda sekarang terlalu sibuk dengan pergulatan
dialektika politik kampus yang tak menuai makna. Ada yang menyangsikan keterlibatan mahasiswa
dalam politik. Jusuf Kalla bahkan pernah mengutarakan hal senada yang
menyatakan bahwa orientasi berpikir mahasiswa itu belajar bukan menghajar.
Tak hanya itu, persoalan klasik semacam fasilitas
kampus terus bergulir. Semakin tumbuhnya iklim intelektual dengan ditandai
semakin maraknya pendirian perguruan tinggi di Indonesia tak menuai angin segar.
Tak ayal, hal tersebut justru semakin menimbulkan satu hal yang kadang-kadang
problematik.
Pertanyaanya, gusarkah kita ? tentu saja tidak. Indonesia punya
harapan cerah menjadi satu bangsa yang perkasa diera globalisasi. Revitalisasi
kampus kiranya perlu dipertimbangkan agar tercapai satu bentuk kultur akademik
yang baik. Penataan ulang berupa manajemen kampus yang lebih kapabel, kapasitas
intelektual dan integritas moral yang tinggi akan mampu mengangkat pamor
perguruan tinggi di Indonesia
secara perlahan.
Pembenahan sistem penjaringan calon mahasiswa
pun tampaknya dapat diwacanakan menjadi satu bahasan menarik. Kendati, hak
setiap orang untuk mendapatkan pendidikan namun perlu dilihat pula kapasitas
setiap orang untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan setiap orang
lainnya. Standardisasi pembelajaran dengan mencontoh beberapa Negara yang telah
secara visioner mengimplementasikan pola kerjanya kiranya patut untuk ditiru
dan diterapkan di tanah air.
Pengaruh Konstruksi Sosial dalam Proses Penegakan
Hukum
H.L.A Hart dalam bukunya Law,
Liberty and
Morality mengajukan satu pertanyaan penting bagi kalangan intelektual hukum
di dunia. Yakni, apakah hukum itu dipengaruhi oleh moralitas ? Apakah entitas hukum itu menjadi tak
terpisahkan dari pengaruh interaksi sosial penegak hukum dalam memutus satu
perkara ? Apakah secara afirmasi dapat pula diajukan pertanyaaan, apakah
moralitas secara implikatif berpengaruh terhadap paradigma hukum ?
Pertanyaan-pertanyaan demikian tentulah tak dapat dijawab secara
simplikatif, mengingat kompleksnya konvegensi antara hukum dan moral yang
menjadi perdebatan sengit diantara kaum intelektual hukum di dunia. Namun,
dalam konteks sosial masyarakat Indonesia
secara umum, putusan hakim sangar erat dipengaruhi oleh entitas moral yang
melekat dan terinternalisasi dalam pola pemikiran penegak hukum. Karena,
konstruksi sosial masyarakat dimana Ia dibesarkan memberikan pengaruh yang luar
biasa dalam menjawab setiap persoalan kritis yang menyangkut tentang legitimasi
hukum sebagai panglima di muka bumi.
Sudah menjadi hal yang lazim di dalam kalangan akademis, bahwa hukum
itu tak selalu berbanding lurus dengan realitas di masyarakat –Das Sein dan Das Sollen. Cita hukum untuk menuntun masyarakat dalam kotak
simetris berupa aturan tak selalu mulus dengan pola penegakan hukum di
masyarakat. Secara sosiologis, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
paradoks hukum. Diantaranya, berasal dari penegak hukum itu sendiri, dapat pula
karena faktor undang-undang, dan terakhir dapat terjadi karena kultur
masyarakat.
Ketiganya secara implisit memiliki paralelitas dalam mengusung proses
penegakan hukum yang manusiawi. Aparat penegak hukum bahkan dapat disebut
sebagai simbol kekokohan fiat justitia
ruat coeloum. Fungsinya sebagai corong undang-undang (bila menerapkan
aliran penerapan hukum legisme) ataupun sebagai konstruktor hukum (bila
menerapkan aliran penerapan hukum freirechtslehre)
menjadi penting mengingat pola transisi tekstual ke kontekstual dipertaruhkan.
Hukum dapat saja menjadi sangat konservatif dari alienasi hukum
berupa intrik-intrik sosial bilamana sang algojo lihai dalam memainkan peran
dengan menyelimuti diri dengan filosofi Dewi Themis. Bukan malah membelalakkan
mata dalam mengusung peran sebagai pengadil. Mendalam soal faktor penghambat
penerapan hukum berupa aparat penegak hukum itu sendiri, pengaruh konstruksi sosial
tempat dimana sang pengadil menempa diri menjadi kunci pertama.
Konstruksi sosial memicu adanya satu resonansi otak dan frekuensi
pendengaran yang kemudian diformulasikan dalam proses pengolahan data di
wilayah logika yang nantinya menjadi faktor penegakan hukum. Menjadi penting,
seberapa baik konstruksi sosial tersebut yang berupa institusi, agama, Negara
dan budaya dalam membentuk karakter dan budaya hukum yang aspiratif, memenuhi
rasa keadilan masyarakat secara holistis dan memangkas kultur dan perilaku
koruptif yang dapat mengkorupsi moral public dalam balutan konspirasi hukum
yang terus dibudidaya sejumlah pakar hukum di Indonesia.
![]() |
Menjadi pertanyaan, apakah konstruksi sosial di masyarakat secara
absolute dapat diafirmasi sebagai metode yang baik dalam memengaruhi pergaulan
hukum di Indonesia?. Lantas, bagaimana dengan budaya ewuh pakewuh Jawa yang secara spiritual menyatu dalam pola tingkah
laku masyarakatnya. Yang kemudian dikonversikan dalam bahasan formal berupa
proses penegakan hukum? Bahkan, sejumlah pakar sebut saja Abraham Amos
menyangsikan pengaruh budaya dan konstruksi sosial dalam proses penegakan
hukum. Hukum punya cara sendiri dalam memutus perkara di masyarakat.Tak peduli
apakah hal tersebut membelakangi moralitas yang berlaku di masyarakat sebagai
residu dari konstruksi sosial. Ketika hukum erat dikaitkan dengan persoalan
moralitas maka hukum akan menjadi bias ideologis.
Karena hukum ada berkat pemahamannya sendiri. Yang dikonstruksikan
dalam nalar ideologis yang terlepas dari anasir-anasir asing berupa budaya
agama dan institusi. Inilah yang menjadi poin kenapa proses penegakan hukum di
Indonesia kerap kali goyah dalam menapal batas, bersalah tidak bersalahnya
seseorang dalam proses persidangan di muka pengadilan. Karena, pengadil (Hakim)
kerap dipengaruhi oleh presensi yang ditarik dari pengalaman hakim. Hal ini
memunculkan stereotype yang buruk terhadap hukum. Hukum tidak lagi dipandang
sebagai jurus jitu dalam mengentaskan persoalan kebangsaan, kerakyatan, dan
kemanusiaan.
Hukum dijadikan sebagai komoditas dan praktik komersil yang
memangkas esensi hukum itu sendiri. Pendidikan hukum menjadi rancu ketika
memvonis satu persoalan. Salah satu kesimpulan yang paling krusial adalah
merekonstruksi pola pendidikan hukum di Indonesia
yang lepas dari alienasi berupa konstruksi sosial yang sangat kuat memengaruhi
aparat penegak hukum di Indonesia .
Karena, law is a liberty and morality.
No comments:
Post a Comment