Semakin pesatnya perkembangan dunia internasional
dalam menjalin hubungan internasional ditandai dengan adanya penempatan agen
diplomatik di negara penerima (receiving state). Hal ini secara yuridis
diperbolehkan mengingat pengaturan mengenai hubungan diplomatik dan konsuler
sudah dibentuk pada decade 1960-an. Pada tahun tersebut ada tiga konvensi besar
yang berhubungan dengan hubungan internasional. Konvensi Wina 1961 mengenai
hubungan diplomatik, kemudian ada konvensi Wina 1963 mengenai hubungan
konsuler, serta Konvensi Wina 1969 mengenai Perjanjian Internasional.
Lahirnya ketiga konvensi dalam satu dekade tersebut
menjadi patokan (toetstendingen) bagi
negara-negara dalam mengimplementasikan konsep hubungan internasional. Ada dua
cara yang dapat dilakukan oleh negara-negara dalam menjalin hubungan
internasional dengan negara lain. Pertama, dengan menempatkan agen diplomatik
di negara pengirim. Hal ini seperti termaktub dalam Artikel 2 Konvensi Wina
1961 mengenai Hubungan Diplomatik yang menyatakan, “the establishment of diplomatic relations between states, and a
permanent diplomatic missions, must take place by mutual consent”.
Artinya, bahwa konvensi Wina secara normatif
membolehkan negara-negara melaksanakan hubungan diplomatik sepanjang
kepentingan negara-negara pihak tidak terganggu dengan adanya hubungan
diplomatik tersebut. Oleh karena itu, pembangunan hubungan diplomatik harus
dipenuhi dengan kesepakatan kedua belah pihak (“…must take place by mutual consent”).
Menempatkan agen diplomatik disuatu negara berarti
memberikan sinyalemen positif bagi terbukanya hubungan kerjasama bilateral yang
baik diantara kedua negara. Karena, pembukaan kantor perwakilan diplomatik
disamakan sebagai iktikad baik negara (good
faith) dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan negara lain.
Hampir sama dengan hubungan diplomatik, hubungan
konsuler yang diatur dalam Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler hampir
mengatur hal yang sama. Bedanya, hubungan konsuler dalam praktik biasanya
merupakan sarana dalam meningkatkan kegiatan ekonomi. Sedangkan hubungan
diplomatik lebih mengurusi kegiatan yang bersifat politis. Oleh karena itu,
pejabat diplomatik tidak perlu mendapatkan letter
of credentials, lantaran dianggap memiliki full powers (kekuasaan penuh) dalam mewakili negara pengirim. Hal
ikhwal terkait dengan fungsi konsuler termaktub dalam artikel 5 huruf (b) “furthering the development of commercial,
economic, cultural and scientific relations between receiving states…”.
Selain itu, pasca dibukanya hubungan diplomatik dan
konsuler, semenjak diterimanya pejabat diplomatik negara penerima tersebut
dinegara pengirim, maka pada saat itulah hak keistimewaan dan kekebalan
diplomatik dan konsuler didapatkan. Sebagaimana dimaksudkan dalam artikel 39
ayat (1) yang menyatakan “every person
entitled to priviliges and immunities shall enjoy them from the moment he
enters the territory”. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apa dan
bagaimana status pejabat diplomatik/konsuler di negara pengirim yang mengalami suksesi?
Hukum internasional jelas mengenal istilah-istilah
yang berkaitan dengan proses terbentuknya negara. Ada aksesi, ada okupasi
(pendudukan), ada juga suksesi. Namun, yang dibahas dari tulisan ini akan
berada pada ruang lingkup suksesi yakni mengenai status pejabat diplomatik di
negara-negara yang mengalami transformasi sosial atau suksesi.
Suksesi diartikan sebagai pengalihan hak-hak dan
kewajiban negara-negara yang telah berubah identitasnya atau berganti sistem
pemerintahan dan bentuk negaranya. Secara umum, sebenarnya suksesi dapat dibagi
menjadi dua pengertian. Yang pertama, adalah suksesi negara dan yang kedua
adalah suksesi pemerintahan.
Sebenarnya, persoalan hubungan diplomatik lebih
kepada urusan politis masing-masing negara dalam melaksanakan perjanjian dengan
negara lain melalui penempatan wakil-wakilnya. Tidak ada batasan normatif yang
jelas terkait dengan status pejabat diplomatik masing-masing negara. Hal ini
murni diserahkan kepada masing-masing negara dalam melaksanakan hubungan diplomatik
dengan negara yang bersangkutan. Terlepas, dari negara tersebut tengah
mengalami transformasi sosial. Hal ini dikembalikan lagi kepada negara pengirim
untuk tetap melanjutkan hubungan diplomatik di negara yang lama atau tidak. Karena,
tidak ada implikasi apapun atas suksesi yang terjadi.
No comments:
Post a Comment