Tuesday, 23 April 2013

PERSONA NON GRATA PEJABAT KONSULER, MUNGKINKAH?


Hubungan diplomatik dalam konsep hubungan internasional merupakan suatu tindakan politis negara-negara dalam melaksanakan fungsinya melalui kerjasama internasional. Indonesia sendiri telah membuka 84 hubungan diplomatik diseluruh negara dunia. Cina dan AS menjadi negara dengan jumlah perwakilan diplomatic terbanyak yang mencapai 140-an perwakilan diplomatic dari hamper 200-an negara dunia yang terdaftar sebagai anggota PBB.
Secara teoritik, berkembang dua ajaran mengenai pembukaan hubungan diplomatic. Yang pertama adalah legacy of right atau legasi aktif yang merupakan hak suatu negara untuk menempatkan accreditation wakilnya ke negara penerima. Yang kedua adalah, rights of legation atau legasi pasif yang artinya kewajiban negara menerima perwakilan asing. Namun, dalam perspektif hubungan internasional kontemporer, tidak ada kewajiban suatu negara untuk menerima agen diplomatic dari negara pengirim. Karena, biasanya penempatan agen diplomatic dipertimbangkan secara politis sesuai dengan keuntungan yang akan dicapai keduanya (mutual understanding).
Landasan yuridis berlakunya konsep misi diplomatic, yakni pengiriman agen diplomatic negara-negara pengirim ke negara penerima dilandasi oleh ketentuan Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatic dan konsuler. Dalam konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatic yang dewasa ini sudah berlaku secara umum menggariskan : “the establishment of diplomatic relations between states, and of permanent diplomatic missions, take place by mutual consent.”. mencermati isi ketentuan konvensi wina bahwa disebutkan adanya mutual consent atau kesepakatan kedua belah pihak. Jadi, negara pengirim tidak serta merta dapat dengan bebas menempatkan agen diplomaticnya di negara penerima sesuai dengan kehendak negara pengirim. Terlebih dahulu, harus ada kesepakatan diantara kedua belah pihak dalam rangka menentukan mulai dari penempatan agen diplomatic, persetujuan siapa yang akan menjadi wakil di negara penerima (persona grata), besarnya jumlah agen diplomatic, hingga kapan berakhirnya sebuah hubungan diplomatic.
Kehadiran perwakilan diplomatic negara asing ke negara penerima menandai adanya itikad baik (good faith) dari negara untuk membuka hubungan baik kepada negara-negara. Kedudukan pejabat diplomatic menandai adanya rasa kepercayaan dari negara penerima akan kehadiran agen diplomatic asing yang bertugas menjalankan urusan negara pengirim secara politis yang diwakilkan oleh agen diplomatic (pejabat diplomatic mengemban fungsi representasi dan negosiasi). Sehingga, pejabat diplomatic tidak membutuhkan letter of credentials (surat kepercayaan) dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai agen diplomatic. Maka dari itu, pejabat diplomatic diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatic (immunity) dalam menjalankan fungsinya.
Namun, kendati pejabat diplomatic mendapatkan kekebalan dan keistimewaan diplomatic yang diatur dalam konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatic tidak dapat dihukum karena melakukan pelanggaran terhadap hukum negara penerima. Peristiwa ini dalam hukum internasional sering disebut sebagai persona non grata. Dalam pasal 9 ayat (1) konvensi Wina menyebutkan bahwa : “the receiving state may at any time and without having to explain it decision, notify the sending state that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission is ‘persona non grata’ or that ‘any other member of the staff is not acceptable..”.
Berdasarkan ketentuan pasal 9 ayat (1) perlu digaris bawahi bahwa meskipun tanpa alasan sekalipun negara penerima (receiving state) dapat dengan tegas menolak agen diplomatic negara pengirim (sending state).
Pejabat Konsuler
Berdasarkan ketentuan pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961 secara eksplisit disebutkan bahwa “…any member of the diplomatic staff of the mission is ‘Persona Non Grata’..”. hanya pejabat diplomatik yang berkedudukan di ibukota negaralah yang dapat di persona non gratakan oleh negara penerima. Namun, benarkah demikian? Berdasarkan konsep persona non grata dalam konvensi wina 1961 mengenai pejabat diplomatic apakah sudah mencakup secara keseluruhan termasuk pejabat konsuler?
Secara terminologis, konsulat adalah sebuah badan/lembaga yang menjadi wakil resmi negara pengirim ke negara penerima yang betugas untuk melindungi kepentingan warga negara pengirim di negara penerima yang mencakup urusan-urusan protecting of citizens (vide pasal 5 Konvensi Wina 1963).
Dalam teori-teori hubungan internasional yang berkembang, kedudukan konsulat berada dibawah kedudukan duta besar negara pengirim. Sehingga, proses pertanggung jawaban konsulat jenderal berada pada duta besar yang memang mempunyai urusan representasi kenegaraan yang bersifat lebih politis ketimbang konsulat. Namun, sama halnya dengan pejabat diplomatik, penempatan peabat konsuler juga harus mendapatkan persetujuan (accepting) dari negara pengirim untuk bersedia mengirim perwakilan konsulnya ke negara penerima. Hal ini merujuk ketentuan pasal 2 ayat (2) Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler yang menyatakan bahwa “the consent given to the establishment of diplomatic relations between two states implies, unless otherwise stated, consent to the establishment of consular relations”.
Dalam ketentuan pasal 2 ayat (2) Konvensi Wina 1963 juga mensyaratkan bahwa harus ada kesepakatan kedua belah pihak untuk menempatkan agen konsulernya di negara-negara pengirim. Ketentuan pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Internasional diperkuat dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler yang menyatakan bahwa “the severance of diplomatic relations shall not ipso facto involve the severance of consular relations”. Hal ini membuktikan bahwa, terdapat pemisahan terminologis antara pejabat diplomatic dengan pejabat konsuler. Yang berakibat pada, terjadi pemisahan kedudukan dan fungsi serta pemahaman mengenai pejabat diplomatic dan pejabat konsuler itu sendiri.
Jadi, tidak secara serta merta pejabat konsuler dapat di persona non gratakan dengan menggunakan ketentuan pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961 mengenai hubugan internasional. Karena, pasal 2 ayat (3) sendiri memisahkan keduanya menjadi disiplin yang berdiri sendiri, kendati rumusan teori yang berkembang menyatakan konsulat jenderal berada dibawah duta besar.
Persona Non Grata Pejabat Konsuler
Belum adanya ketentuan khusus yang mengatur persoalan persona non grata  pejabat konsuler dalam suatu rumusan normative yang konkrit, menimbulkan pemahaman tumpang tindih terkait dengan persona non grata pejabat konsuler. Pasal 2 ayat (2) Konvensi Wina 1963 yang menyebutkan bahwa pejabat konsuler dari negara pengirim harus mendapatkan persetujuan dari negara penerima sebelum ditempatkan sebagai konsuler, secara implisit menyiratkan bahwa suatu negara secara sepihak dapat mempersona non gratakan pejabat konsuler. Namun, ketentuan tersebut menjadi lebih bias, karena pasal 2 ayat (3) Konvensi Wina 1963 memisahkan terminology pejabat diplomatic dan pejabat konsuler.
Namun, kemudian menjadi pertanyaan lagi. Apakah, hukum internasional menggunakan konvensi sebagai sumber hukum yang secara positivis diterapkan dalam kerangka hubungan internasional? Tidakkah, hukum internasional tidak mengenai konsep world law, yakni adanya polisi dunia dan subordinasi. 

No comments:

Post a Comment