Hubungan diplomatik dalam konsep
hubungan internasional merupakan suatu tindakan politis negara-negara dalam
melaksanakan fungsinya melalui kerjasama internasional. Indonesia sendiri telah
membuka 84 hubungan diplomatik diseluruh negara dunia. Cina dan AS menjadi
negara dengan jumlah perwakilan diplomatic terbanyak yang mencapai 140-an
perwakilan diplomatic dari hamper 200-an negara dunia yang terdaftar sebagai
anggota PBB.
Secara teoritik, berkembang dua
ajaran mengenai pembukaan hubungan diplomatic. Yang pertama adalah legacy of right atau legasi aktif yang
merupakan hak suatu negara untuk menempatkan accreditation wakilnya ke negara penerima. Yang kedua adalah, rights of legation atau legasi pasif
yang artinya kewajiban negara menerima perwakilan asing. Namun, dalam
perspektif hubungan internasional kontemporer, tidak ada kewajiban suatu negara
untuk menerima agen diplomatic dari negara pengirim. Karena, biasanya
penempatan agen diplomatic dipertimbangkan secara politis sesuai dengan
keuntungan yang akan dicapai keduanya (mutual
understanding).
Landasan yuridis berlakunya
konsep misi diplomatic, yakni pengiriman agen diplomatic negara-negara pengirim
ke negara penerima dilandasi oleh ketentuan Konvensi Wina 1961 tentang hubungan
diplomatic dan konsuler. Dalam konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatic
yang dewasa ini sudah berlaku secara umum menggariskan : “the establishment of diplomatic relations between states, and of
permanent diplomatic missions, take place by mutual consent.”. mencermati
isi ketentuan konvensi wina bahwa disebutkan adanya mutual consent atau kesepakatan kedua belah pihak. Jadi, negara
pengirim tidak serta merta dapat dengan bebas menempatkan agen diplomaticnya di
negara penerima sesuai dengan kehendak negara pengirim. Terlebih dahulu, harus
ada kesepakatan diantara kedua belah pihak dalam rangka menentukan mulai dari
penempatan agen diplomatic, persetujuan siapa yang akan menjadi wakil di negara
penerima (persona grata), besarnya
jumlah agen diplomatic, hingga kapan berakhirnya sebuah hubungan diplomatic.
Kehadiran perwakilan diplomatic
negara asing ke negara penerima menandai adanya itikad baik (good faith) dari negara untuk membuka
hubungan baik kepada negara-negara. Kedudukan pejabat diplomatic menandai
adanya rasa kepercayaan dari negara penerima akan kehadiran agen diplomatic
asing yang bertugas menjalankan urusan negara pengirim secara politis yang
diwakilkan oleh agen diplomatic (pejabat diplomatic mengemban fungsi
representasi dan negosiasi). Sehingga, pejabat diplomatic tidak membutuhkan letter of credentials (surat
kepercayaan) dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai agen diplomatic. Maka
dari itu, pejabat diplomatic diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatic
(immunity) dalam menjalankan
fungsinya.
Namun, kendati pejabat diplomatic
mendapatkan kekebalan dan keistimewaan diplomatic yang diatur dalam konvensi
wina 1961 tentang hubungan diplomatic tidak dapat dihukum karena melakukan
pelanggaran terhadap hukum negara penerima. Peristiwa ini dalam hukum
internasional sering disebut sebagai persona
non grata. Dalam pasal 9 ayat (1) konvensi Wina menyebutkan bahwa : “the receiving state may at any time and
without having to explain it decision, notify the sending state that the head
of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission is ‘persona
non grata’ or that ‘any other member of the staff is not acceptable..”.
Berdasarkan ketentuan pasal 9
ayat (1) perlu digaris bawahi bahwa meskipun tanpa alasan sekalipun negara
penerima (receiving state) dapat
dengan tegas menolak agen diplomatic negara pengirim (sending state).
Pejabat Konsuler
Berdasarkan ketentuan pasal 9
ayat (1) Konvensi Wina 1961 secara eksplisit disebutkan bahwa “…any member of the diplomatic staff of the
mission is ‘Persona Non Grata’..”. hanya pejabat diplomatik yang
berkedudukan di ibukota negaralah yang dapat di persona non gratakan oleh
negara penerima. Namun, benarkah demikian? Berdasarkan konsep persona non grata
dalam konvensi wina 1961 mengenai pejabat diplomatic apakah sudah mencakup
secara keseluruhan termasuk pejabat konsuler?
Secara terminologis, konsulat
adalah sebuah badan/lembaga yang menjadi wakil resmi negara pengirim ke negara
penerima yang betugas untuk melindungi kepentingan warga negara pengirim di
negara penerima yang mencakup urusan-urusan protecting of citizens (vide pasal
5 Konvensi Wina 1963).
Dalam teori-teori hubungan
internasional yang berkembang, kedudukan konsulat berada dibawah kedudukan duta
besar negara pengirim. Sehingga, proses pertanggung jawaban konsulat jenderal
berada pada duta besar yang memang mempunyai urusan representasi kenegaraan
yang bersifat lebih politis ketimbang konsulat. Namun, sama halnya dengan
pejabat diplomatik, penempatan peabat konsuler juga harus mendapatkan
persetujuan (accepting) dari negara
pengirim untuk bersedia mengirim perwakilan konsulnya ke negara penerima. Hal
ini merujuk ketentuan pasal 2 ayat (2) Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan
Konsuler yang menyatakan bahwa “the
consent given to the establishment of diplomatic relations between two states
implies, unless otherwise stated, consent to the establishment of consular
relations”.
Dalam ketentuan pasal 2 ayat (2)
Konvensi Wina 1963 juga mensyaratkan bahwa harus ada kesepakatan kedua belah
pihak untuk menempatkan agen konsulernya di negara-negara pengirim. Ketentuan
pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Internasional diperkuat
dengan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler
yang menyatakan bahwa “the severance of
diplomatic relations shall not ipso facto involve the severance of consular
relations”. Hal ini membuktikan bahwa, terdapat pemisahan terminologis
antara pejabat diplomatic dengan pejabat konsuler. Yang berakibat pada, terjadi
pemisahan kedudukan dan fungsi serta pemahaman mengenai pejabat diplomatic dan
pejabat konsuler itu sendiri.
Jadi, tidak secara serta merta
pejabat konsuler dapat di persona non gratakan dengan menggunakan ketentuan
pasal 9 ayat (1) Konvensi Wina 1961 mengenai hubugan internasional. Karena,
pasal 2 ayat (3) sendiri memisahkan keduanya menjadi disiplin yang berdiri
sendiri, kendati rumusan teori yang berkembang menyatakan konsulat jenderal
berada dibawah duta besar.
Persona Non Grata Pejabat Konsuler
Belum adanya ketentuan khusus
yang mengatur persoalan persona non grata
pejabat konsuler dalam suatu rumusan
normative yang konkrit, menimbulkan pemahaman tumpang tindih terkait dengan persona
non grata pejabat konsuler. Pasal 2 ayat (2) Konvensi Wina 1963 yang menyebutkan
bahwa pejabat konsuler dari negara pengirim harus mendapatkan persetujuan dari
negara penerima sebelum ditempatkan sebagai konsuler, secara implisit
menyiratkan bahwa suatu negara secara sepihak dapat mempersona non gratakan
pejabat konsuler. Namun, ketentuan tersebut menjadi lebih bias, karena pasal 2
ayat (3) Konvensi Wina 1963 memisahkan terminology pejabat diplomatic dan
pejabat konsuler.
Namun, kemudian menjadi
pertanyaan lagi. Apakah, hukum internasional menggunakan konvensi sebagai
sumber hukum yang secara positivis diterapkan dalam kerangka hubungan
internasional? Tidakkah, hukum internasional tidak mengenai konsep world law, yakni adanya polisi dunia dan
subordinasi.
No comments:
Post a Comment