Wednesday, 11 December 2013

Sengketa Pemilihan Kepala Desa, Digugat Kemana?

Gambar diambil melalui Google.com
Dalam negara-negara yang mengaku menganut sistem demokrasi, proses pergantian kekuasaan dapat dipahami berlangsung secara konstitusional. Dalam arti secara konstitusional, para ahli berpendapat bahwa pergantian kepemimpinan ini berlangsung secara demokratis baik melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat dengan ketentuan berupa pemilihan umum atau dipilih oleh raja dalam perspektif monarki konstitusional. Di Indonesia, proses pemilihan umum boleh dikatakan sudah berlangsung sudah cukup lama. Pemilihan Umum dengan partsipasi partai politik sebagai unsur penting dalam proses pembaharuan negara demokrasi pada saat itu, dilakukan pertama kali pada tahun 1955. Namun, baru pada tahun 2004 pemilihan presiden (Pilpres) baru dapat dipilih secara langsung oleh rakyat melalui model pemilihan umum. rakyat yang sudah memenuhi batas usia hak pilih, diberikan hak untuk memilih kandidat presiden yang sesuai dengan hati nurani.

Dalam rezim pemilihan umum di Indonesia berdasarkan undang-undang pemilihan umum No 8 Tahun 2012, hanya dikenal dua macam jenis pemilihan umum. yakni, pemilihan presiden, pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah. dalam hal inipun, pemilihan kepala daerah hanya sempit mengatur mengenai pemilukada tingkat kabupaten/kota atau Provinsi. Dalam berbagai pilihan dan jenis pentas politik dalam negeri, variasi itu kini bertambah. Persoalan mengenai apabila terjadi sengketa terhadap jenis pemilihan umum yang telah disebutkan diatas sudah jelas ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh dengan langkah-langkah prosedural sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam UU No 24 Tahun 2003 jo UU No 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, dalam Pasal 10 disebutkan bahwa salah satu diantara kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan umum atau yang lebih dikenal dengan PHPU. Dalam aturan tersebut sudah sangat jelas, mengenai kemana proses komplainisasi apabila terjadi indikasi kecurangan dalam proses pemilihan umum. lantas, kemana mekanisme hukum dalam menyelesaikan sengketa pemilihan umum dalam level desa?

Dalam perspektif otonomi daerah, sebagaimana tercantum dalam UU No 32 Tahun 2004, Indonesia mengakui adanya level pemerintahan pada tingkat bawah yakni pemerintahan desa. bahkan, Peraturan Desa sempat dimasukan dalam undang-undang tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa, eksistensi pemerintahan pada level pedesaan sudah diakomodir dan diakui dalam bentuk berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. 

Pada peraturan pemerintah No 7 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan bahwa, Kepala Desa sebagai elemen paling esensiil dalam level pemerintahan tingkat desa dapat dipilih melalui mekanisme pemilihan secara langsung (Vide Pasal 44 Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2005 tentang Desa). Demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipasif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Hal ini  merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dimana desa berhak dan memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tanggga desa. 

Namun, kendati desa sudah diberikan kewenangan yang cukup besar oleh undang-undang, namun proses pemilihan kepala desa (Pilkades) ini menuai kontroversi. makin dinamisnya kondisi masyarakat pedesaan yang sudah mengenal politik, maka rakyat dalam level pedesaan sudah semakin cerdas melihat kondisi yang tidak sesuai fakta dilapangan. Beberapa kasus yang pernah mencuat dimedia, mendorong penulis untuk menulis mengenai kemana proses penyelesaian sengeketa pilkades? Hal ini nampak dari tidak jelasnya pengaturan terhadap sengketa Pilkades. Akibat tidak pastinya definisi mengenai objek sengketa, legal standing, mekanisme penyelesaian, lembaga yang, tentunya akan sangat menyulitkan penyelesaian perkaranya secara hukum. Kepastian hukum yang berarti adanya standar yang sama tersebut harus diterapkan dalam Pilkades. Mulai dari tahap awal hingga akhir. Tidak ada alasan untuk mendiskriminasikan Pilkades, karena desa merupakan bagian struktur pemerintahan yang diakui dalam hukum positif . Demikian seharusnya negara hukum yang menghormati asas equality before the law yang setiap orang tidak hanya harus berlaku sama dalam ketaatan hukum, tetapi juga harus diperlakukan sama oleh hukum itu sendiri, termasuk dalam hal ini masyarakat desa dan Pilkades mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum yang seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan antara pilkades, pileg, dan pilpres yang prosesnya diperlukan standardisasi yang sama sehingga akan lebih mudah dalam menyelesaikan sengketa, apabila terjadi persengketaan.

Dalam tataran normatif peraturan perundang-undangan, tidak disebutkan secara eksplisit mengenai proses atau mekanisme gugatan bila terjadi indikasi kecurangan dalam level pemilihan kepala desa (Pilkades). Bahkan, MK sebagai mekanisme konstitusional dalam menyelenggarakan PHPU tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa pilkades, karena penyelesaian sengketa PHPU yang disebutkan UU adalah Pemilihan Umum yang termasuk dalam rezim UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Sedangkan, pilkades tidak diatur dalam UU Pemilu namun diatur secara lebih mikro dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2005 tentang Desa. Jadi, persoalan pertama mengenai konstitusionalitas MK dalam menyelesaikan sengketa Pilkades tidak dapat diterima.

Kedua, dalam level pemerintahan artinya executive review. Untuk mekanisme yang kedua ini, sebelumnya pernah terjadi sengketa mengenai Pilkades di Desa Luba, Kecamatan Lembur yang sedang ditangani oleh Bagian Hukum dan HAM pemerintah Kabupatan Alor. Dalam hal ini, perlu diperhatikan apabila tidak ada aturan yang secara eksplisit seperti peraturan daerah atau peraturan gubernur dan lain sebagainya yang mengatur soal penyelesaian sengketa pilkades ini. Maka, para pihak yang bersengketa dapat menolak atau mengajukan nota keberatan karena Eksekutif tidak berwenang untuk menyelesaikan sengekta pilkades. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemkab Alor Bagian Hukum dan HAM seperti pemeriksaan dokumen, verifikasi faktual, boleh jadi dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam menyelesaikan sengketa pilkades secara konstitusional. 

Ketiga melalui level pengadilan negeri. Dalam hal ini dapat dikemukakan satu pertanyaan yakni mengenai kompetensi pengadilan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Kewenganan dari Peradilan umum adalah sengketa perkara perdata dan pidana walaupun berlaku asas hakim tidak boleh menolak perkara, akan tetapi asas ini berlaku khususnya apabila datang kepadanya perkara perdata. Ikhwal untuk perkara sengketa Pilkades bukan perkara perdata, dan belum tentu mengandung unsur pidana. Jika mengandung unsur pidana kewenangan peradilan dalam hal ini pengadilan negeri bukan karena perkara itu sengketa Pilkades tetapi karena perbuatan yang diadili memenuhi kriteria dalam hukum pidana. Namun, sebagaimana ditentukan mengenai kewenangan pengadilan negeri bahwa dalam huruf e disebutkan 'seluruh kewenangan yang belum diatur dalam undang-undang lain menjadi kewenangan pengadilan negeri untuk menentukan'. Boleh jadi, interpretasi ini dapat dianalogikan terhadap sengketa pilkades yang tengah terjadi. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana proses hukum beracara dalam hal penyelesaian sengketa di pengadilan negeri? Lazimnya perkara yang masuk ke pengadilan negeri, ada majelis hakim yang jumlahnya ganjil (1,3,5 dst), kemudian terdapat Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum dsb. Namun, dalam hal ini sengketa pilkades adalah sengketa yang sifatnya administratif, apa perlu menggunakan JPU? Hal ini tentu menjadi polemik ketika masih belum jelasnya aturan yang mendasari pokok-pokok pilkades sebagai bagian dari rezim pemilihan umum dan otonomi daerah di Indonesia. 

Monday, 7 October 2013

Perbandingan UU Kepegawaian




BAB
TENTANG
PASAL
KETERANGAN
1
Pengertian (UU No 8/1974) atau Ketentuan Umum (UU No 43/199)
1
Dalam ketentuan pasal 1 UU No 8/1974 disebutkan ada lima butir pengertian dasar terkait dengan personalia yang diatur dalam UU Pokok Kepegawaian. Yakni, pegawai negeri, pejabat yang berwenang, jabatan negeri, atasan yang berwenang, dan pejabat yang berwajib. Kemudian, dalam perubahan sebagaimana dibuah menjadi UU No 43/1999 diubah ada 8 personalia yang diatur dalam ketentuan UU yang baru. Yakni, pegawai negeri, pejabat yang berwenang, pejabat yang berwajib, pejabat negara, jabatan negeri, jabatan karier, jabatan organik dan manajemen pegawai negeri sipil.
2
Ketentuan Umum (UU No 8/1974) atau
Jenis, Kedudukan, Kewajiban, dan Hak Pegawai Negeri Sipil (UU No 43/1999)
2
Dalam pasal 2 mengenai Jenis Pegawai Negeri sipil hampir ada kemiripan antara UU yang lama dan UU yang baru. UU No 8/1974 Pegawai Negeri terdiri dari PNS dan ABRI, UU No 43/1999 PNS, TNI dan Polri. Kemudian, dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 8/1974 PNS dibagi menjadi PNS Pusat, PNS daerah, dan PNS lain yang ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan, dalam UU yang baru PNS hanya PNS Pusat dan PNS daerah, namun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) ditentukan lain yakni pegawai negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1), dapat mengangkat pegawai tidak tetap.


3
Dalam pasal 3 UU yang lama, hanya diatur melalui satu ayat yakni mengenai kedudukan Pegawai Negeri. Sedangkan, pada UU yang baru diatur lebih lanjut yakni melalui 3 ayat yang berisikan mengenai kedudukan pegawai negeri.  Untuk menjamin terciptanya Pegawai Negeri yang jujur, abdi negara, professional, adil dan merata sebagaimana dicita-citakan melalui kedua UU, maka UU no 43/1999 secara lebih tegas mengatur mengenai kedudukan Pegawao Negeri yang dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.


7
Kemudian, dalam pasal 7 yakni mengenai Hak Pegawai Negeri, diatur mengenai hasil kerja pegawai negeri berupa gaji yang diterima. Namun, besaran penetapan pemberian Gaji ini tidak diatur secara jelas melalui mekanisme yang seperti apa. Sehingga, dalam UU yang baru disebutkan dalam ayat (3) bahwa penetapan gaji pegawai negeri yang layak dan adil akan diatur melalui Peraturan Pemerintah.


11
Pasal 11 UU No 8/1974 hanya menyebutkan mengenai Pejabat Negara adalah seorang pegawai negara yang diangkat menjadi pejabat negara, dibebaskan sementara dari jabatan organiknya selama menjadi pejabat negara tanpa kehilangan statusnya sebagai pegawai negeri. Dalam redaksi ketentuan pasal 11 UU yang lama ini menyebutkan ‘Jabatan Organik’ dalam UU yang lama tidak disebutkan jabatan organik apa dan seperti apa? Sehingga, hal ini ditambahkan dalam ketentuan Pasal 1 mengenai Pengertian dalam UU No 43 Tahun 1999. Selain itu, UU yang lama hanya menafsirkan pejabat negara secara fungsional yakni pejabat negara adalah merupakan seorang pegawai negeri yang diangkat. Namun, di UU yang baru pejabat negara diartikan dalam bentuk yang bersifat kategoris mengenai siapa-siapa saja yang bisa disebut sebagai pejabat negara. Ada 11 pejabat negara dalam UU No 43/1999, yakni Presiden/Wapres, Ketua, Wakil Ketua, Anggota MPR, Ketua, Wakil Ketua Anggota Dewan Perwakilan, Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung, pada MA serta Ketua, Wakil Ketua, Hakim pada semua Badan Peradilan dsb..
3
Pembinaan Pegawai Negeri Sipil (UU No 8/1974) atau Manajemen Pegawai Negeri Sipil (UU No 43/1999)
12
Dalam BAB III ini hanya redaksional batang tubuh UU-nya saja yang dirubah. Tidak banyak yang beruah dari ketentuan Pasal 12 BAB III ini. Dalam UU No 8/1974 disebutkan mengenai Pembinaan PNS, sedangkan UU No 43/1999 disebutkan mengenai Manajemen PNS. Dan ayat (1) mengenai tujuan pembinaan hanya dirubah sedikit mengenai redaksi yang digunakan. Tidak terlalu substantive.


13
Dalam ketentuan UU yang lama mengenai kebijaksanaan pegawai negeri, pasal 13 UU No 8/1974 hanya menyebutkan mengenai kebijaksaan kepagawaian dipegang oleh Presiden. Hal ini diperjelas melalui UU No 43/1999 yang menjelaskan secara spesifik kebijaksanaan apa saja yang dapat dipakai oleh Presiden mengenai kepegawaian. Yakni seperti penetapan Norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas PNS, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban dan kedudukan hukum. Namun, dalam menetapkan kebijakan Presiden dibantu oleh Komisi Kepegawaian yang dibentuk berdasarkan keputusan presiden (Kepres).


15
Tidak banyak berubah dalam ketentuan pasal 15 baik UU yang lama maupun UU yang baru. Hanya, pada UU yang lama ketentuan Pasal 15 mengenai Jumlah Susunan Pangkat Pegawai Negeri ada pada satu ayat, namun di UU yang baru diubah menjadi dua ayat dengan isi yang hampir sama.


16
Dalam ketentuan Pasal 16 hanya diubah 16 ayat (2) dari UU No 8/1974 ke UU No 43/1999 yang berisikan “Setiap warga negara Republik Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan” dan terdapat penambahan ketentuan baru dalam Pasal 16 yang pada UU lama tidak termaktub yakni ketentuan Pasal 16 A yang berisi “(1) Untuk memperlancar pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pemerintah dapat mengangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil bagi mereka yang telah bekerja pada instansi yang menunjang kepentingan Nasional. (2) Persyaratan, tata cara, dan pengangkatan langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah."


20
Kenaikan pangkat ditentukan berdasrkan daftar peniaian dan daftar urut kepangkatan (Vide UU No 8/1974) sedangkan berdasarkan ketentuan UU yang baru daftar urut kepangkatan dihapuskan.


23
Pasal 23 mengatur tentang pemberhentian pegawai negeri sipil. Dalam ketentuan UU yang lama, pemberhentian pegawai negeri sipil dibagi menjadi dua unsur. (i) Pemberhentian PNS dengan Hormat, (ii) Pemberhentian PNS tidak dengan hormat; sedangkan dalam ketentuan UU yang baru (UU No 43/1999) pemberhentian PNS mengatur lebih rinci mengenai pemberhentian PNS.


25
Diadakan penambahan terhadap ketentuan pasal 25 mengenai pengangkatan PNS yakni ketentuan ayat (3) UU No 43 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Sekretaris jenderal Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Sekretaris Jenderal
Departemen, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal, dan Jabatan setingkat, ditetapkan oleh Presiden”


32
Ketentuan Pasal 32 mengatur tentang kesejahteraan pegawai negeri sipil. Dalam ketentuan UU yang lama ( UU No 8/1974) hanya sedikit diatur mengenai kesejahteraan pegawai negeri sipil. Hal ini diubah dengan penambahan beberapa gagasan strategis mengenai kesejahteraan PNS sebagaimana termaktub dalam pasal 32 yang berisikam 4 ayat dalam UU No 43/1999 : (1) Untuk meningkatkan kegairahan bekerja, diselenggarakan usaha kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil.
(2) Usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi program pensiun dan
tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan, dan asuransi pendidikan bagi putra putrid Pegawai Negeri Sipil.
(3) Untuk penyelenggaraan usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai
Negeri Sipil wajib membayar iuran setiap bulan dari penghasilannya.
(4) Untuk penyelenggaraan program pensiun dan penyelenggaraan asuransi kesehatan, Pemerintah menanggung subsidi dan iuran.


34
Dalam ketentuan Pasal 34 mengenai Penyelenggaraan Pembinaan Kepegawaian dalam ketentuan UU yang lama hanya disebutkan bahwa akan dibentuk ‘Badan’ yang membantu tugas Presiden. Hal ini diwujudkan secara jelas dalam UU yang baru yakni ‘Badan’ yang dimaksud dalam UU terdahulu adalah Badan Kepegawaian berikut penambahan ayat yang mengatur mengenai Tugas Pokok dan Fungsi Kepegawaian yang termaktub dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU No 43/1999. Sekaligus, terdapat penambagan Pasal yakni Pasal 34 A yang berisikan mengenai struktur badan kepegawaian daerah.


35
Sengketa kepegawaian diselesaikan melalui mekanisme peradilan administrative yakni PTUN dan objek sengketanya merupakan sengketa administrative.
4
Pembinaan ABRI (UU No 8/1974) atau Manajemen Anggota TNI/POLRI (UU No 43/1999)
37
Tidak ada perubahan secara substantive.

Monday, 24 June 2013

POPULATION EDUCATION = KUALITAS HIDUP, STRATEGI ADVOKASI DALAM MENEKAN LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK

Jauh sebelum teori terbentuknya negara oleh George Jellineck diungkapkan. Kehadiran warga masyarakat menjadi hubungan yang tidak terpisahkan dalam konsep sebuah wilayah kedaulatan. Konsep negara barulah lahir setelah adanya fase yang dilalui sehingga dapat membentuk proses yang dinamakan sebuah negara. Negara sebagai statum organum tidak dapat bergerak alias vervassungrecht bila tidak digerakkan oleh manusia sebagai actus humanus. Oleh sebab itu, perlahan kondisi ini menyimpulkan bahwa ada warga masyarakat dulu baru terbentuknya negara. Negara, adalah wujud komitmen antar warga untuk mengatur urusan administratif warga masyarakatnya sehingga terbentuklah tatanan sosial yang beradab. Maka, kita mengenal konsep ini sebagai primus interpares. Di era modern, kehadiran negara yang bertransformasi menjadi format yang lebih dinamis yang kita sebut sebagai pemerintah.  Pemerintah, merupakan representasi warga masyarakat yang dipercaya (trusted) untuk mengatur urusan domestik warga masyarakatnya. Ditengah-tengah kemajuan peradaban, pola penyebaran warga masyarakat yang tadinya homogen dan mekanis beralih menjadi heterogen dan organis. Tak ayal, kita mengenal hal ini sebagai wujud masyarakat multikultural. Hal ini tak dapat dihindarkan, mengingat laju migrasi penyebaran penduduk menjadi begitu pesat tatkala kemajuan teknologi mengiringi laju pertumbuhan manusia. Secara massal, penduduk dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa harus menunggu waktu yang lama. Sebagai bagian dari komunitas masyarakat internasional, posisi Indonesia secara geografis cukup strategis sebagai transit pertumbuhan penduduk dunia. Meskipun, tak berpengaruh banyak Indonesia menjadi target banyak orang asing lantaran destinasi wisata yang dimiliki. Hal ini dinamakan sebagai warga negara asing. Hingga kini, data yang disadur dari Badan Pusat  Statistik dengan sensus terakhir tahun 2010, total penduduk Indonesia sudah mencapai 230 juta lebih. [1]  Angka ini belum termasuk Penghuni Tidak Tetap, seperti Tuna Wisma, Pelaut, Rumah Perahu, dan Penduduk ulang-alik/Ngelaju. Artinya, jumlah penduduk Indonesia dapat diprediksi jauh lebih besar dari angka yang dihitung per dekadenya.
a.       Penduduk dan Kemiskinan
Cepatnya laju pertumbuhan penduduk (nartalitas) ini tentu menjadi dilematis bila tidak diimbangi dengan kualitas sumber daya manusianya. Menurut biro pusat statistic (BPS), jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2010 berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun pada periode 2000-2010. Gambaran statistis ini menjelaskan bahwa kemiskinan masih terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai modern nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. [2]
Hal inilah yang manjadi basis kenapa human development index Indonesia menjadi begitu rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Indeks pembangunan manusia Indonesia secara menyeluruh menggambarkan kualitas manusia Indonesia relative masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdsarkan Human Development Report 2004, angka HDI Indonesia berkisar di 0,692  sampai 0,7. Angka indeks ini merupakan komposit dari angka harapan hidup (life expected) sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendididkan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.320. [3]
b.      Pendidikan Kependudukan = Kualitas Hidup
Melihat data-data diatas menyangsikan bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk yang begitu besar masih kurang optimal dalam memanfaatkan potensi sumber daya manusia. Maka dari itu perlu pendidikan kependudukan yang relevan dengan kualitas hidup seseorang. Lantas, apa saja yang diperlukan dalam rangka mencapai kualitas hidup melalui pendidikan kependudukan?

                  
Meninjau diatas, dapat kita uraikan satu persatu konsep pendidikan kependudukan dalam rangka menuju kualitas hidup sumber daya manusia yang berkualitas.
(i)                 Development of Knowledge atau pengembangan pengetahuan. Pengembangan pengetahuan dalam rangka civic education perlu disebar luaskan. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah begitu besar, maka kesadaran akan beberapa isu pokok terkait dengan problematika kependudukan seperti tingkat pengangguran yang tinggi unbalancing (ketidak seimbangan) laju nartalitas dan mortalitas, hingga angka usia tidak produktif yang tinggi. Seiring dengan meledaknya transisi demografi di Indonesia yang menunjukan angka usia muda lebih besar ketimbang angka usia tua, tentu menjadi persoalan sendiri bagi Indonesia. Bila, ledakan demografi tersebut tidak diimbangi dengan pengembangan konsep kependudukan seperti menekan laju pertumbuhan nikah muda, pendidikan dasar 12 tahun, dan meningkatkan angka usia muda yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, maka angka usia produktif di Indonesia akan sia-sia. Oleh sebab itu, SDM yang berada dalam usia produktif perlu diberikan pendidikan terkait dengan persoalan kependudukan.
(ii)               Progress of Skill atau peningkatan keahlian. Banyak hal yang dapat dilaksanakan dalam menghindari bencana demografi yang dimiliki Indonesia, seperti program pendidikan dan pengembangan keterampilan. Proses pemberdayaan pemuda (youth empowerment) dapat dilakukan melalui dua saluran. Yang pertama melalui proses pendidikan dengan menggunakan metode Pendidikan Menengah Universal (PMU) 12 Tahun. Mengingat, rasio partisipasi masyarakat Indonesia dalam mengenyam pendidikan menengah masih kalah dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya. selain itu, basis kurikulum dalam pendidikan menengah universal ini harus diliputi pendidikan berbasis keterampilan ketimbang yang bersifat saintifik. Hal ini diharapkan dapat menjadikan manusia-manusia Indonesia lebih kreatif dengan bekal pendidikan keilmuan yang terampil. Mengingat semenjak tahun 2010 Indonesia generasi produktif Indonesia tumbuh begitu pesat, sehingga memungkinkan mendorong untuk pertumbuhan generasi produktif yang berkualitas. [4]
(iii)             Development of attitude,  sikap adalah kecendurungan  seseorang untuk bertindak atau bertingkah laku. setiap orang akan memperlihatkan tingkah laku yang berbeda karena antara mereka memiliki perbedaan sikap. kecenderungan seseorang untuk bertindak dapat bersikap positif dan negative sikap seseorang selalu berhubungan dengan norma yg berlaku.  Diharapkan dengan adanya pengembangan sikap ini dapat berimplikasi pada kesadaran kognitif masyarakat akan kepastian kehidupan yang sehat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Pengembangan sikap ini dapat dijalankan melalui beberapa saluran tak hanya melalui pendidikan formal, akan tetapi pendidikan non formal seperti kursus dan program pendidikan singkat, diharapkan dapat membantu kesadaran masyarakat akan persoalan kependudukan. Maka, peran pemerintah turut pula penting dalam meningkatkan progresifitas pengembangan sikap melalui proses pendidikan dan diseminasi. Pemerintah dalam hal ini kementerian atau lembaga terkait dapat menjadikan ini sebagai sarana untuk melatih dan mendidik masyarakat sedini mungkin akan keadaan faktual kependudukan di Indonesia yang semakin kompleks. Sehingga, diharapkan secara linear, hal ini berpengaruh pada kesadaran kolektif mereka untuk berpartisipasi secara aktif membangun sistem pranata keluarga yang berbarengan dengan program pemerintah (seperti program Keluarga Berencana BKKBN, 2 Anak lebih baik).
(iv)             Language of value, bahasa bisa jadi menjadi satu hal yang pokok dalam hal penyampaian pemahaman. Ketidak tahuan masyarakat akan program penyadaran sosial melalui bahasa menjadi pincang ketika pesannya tak tersampaikan. Oleh sebab itu, kendati tidak krusial persoalan bahasa dapat mengintegrasikan komunitas urban yang tidak fasih berbahasa resmi disatu negara. Penanaman nilai dan kesadaran sosial melalui bahasa dapat menyambung tali yang putus soal diseminasi program pendidikan kependudukan. \
(v)               Development of understanding, pengembangan pemahaman adalah tugas semua pihak untuk dapat membantu dan berperan serta dalam menekan laju pertumbuhan penduduk yang semakin signifikan. Hal ini dapat dilakukan dengan beragam cara seperti sosialisasi kebijakan dan strategi advokasi. Selanjutnya, strategi pengembangan pemahaman dapat dilakukan seiring dengan peningkatan layanan dan kualitas KB. Karena, proses pelaksanaan menekan laju pertumbuhan penduduk tidak hanya berhenti didalam pranata keluarga saja. Melainkan, turut pula dibantu oleh unit lembaga yang bertugas untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan persoalan kependudukan di Indonesia
(vi)             Change in Behavior, ada pepatah yang menyatakan bahwa pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu mengubah paradigma. Paradigma merupakan cara pandang terhadap satu persoalan. Dalam kaitannya dengan kependudukan, paradigma adalah cara berpikir masyarakat secara kolektif terhadap persoalan kependudukan. Dalam hal ini, masyarakat dan pemerintah harus segera bersinergi untuk mengubah paradigma berpikir masing-masing. Untuk masyarakat, anggapan yang menyatakan ’banyak anak banyak rezeki’ sudah selayaknya dirubah. Mengingat, kebutuhan dalam era global semakin kompleks maka rentan bagi orangtua (muda) untuk beranggapan bahwa banyak anak dapat berhubungan dengan banyaknya pendapatan itu keliru. Kehadiran anak dalam jumlah yang besar dalam suatu keluarga boleh jadi menjadi beban tersendiri bagi keluarga bila tidak diimbangi dengan pemasukan dan peningkatan kualitas kerja. Lantaran, mencari kerja sekarang sudah sedemikian rumit maka aksioma yang menganggap bahwa banyak anak banyak rezeki sudah sepatutnya untuk dirubah. Selain itu, bagi pemerintah—BKKBN—sudah sepatutnya untuk lebih cermat dalam hal mengurusi urusan kependudukan. Dengan tidak hanya berfokus pada program keluarga berencana, namun lebih luas dapat bertansformasi menjadi lembaga yang multiple function mengurusi persoalan kependudukan di Indonesia. Sehingga dengan begitu, BKKBN dapat memprediksi ledakan penduduk yang akan terjadi dikemudian hari.

c.       Masalah Kependudukan Nasional dan Dampaknya
Jumlah penduduk Indonesia termasuk yang paling banyak di dunia. Data terakhir, menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi ke empat dalam hal kepadatan penduduk. Menurut Biro Sensus AS (United States Cencus Bureau) menyebutkan bahwa pada tahun 2050, dunia akan mengalami peningkatan kepadatan penduduk hingga 9 milyar jiwa. Artinya setiap dekade dunia mengalami kenaikan jumlah penduduk sebanyak 1 milyar jiwa per dekade. [5] dan Indonesia menempati urutan ketiga, lantaran prediktabilitas jumlah penduduk Amerika Serikat dapat menurun 0,5 % sedangkan negara-negara berkembang meningkat 1,2 %. Hal ini tentu menjadi sinyal betapa persoalan kependudukan cukup menjadi problem yang rumit hampir disetiap negara termasuk Amerika. Mengingat, kepadatan penduduk tentu berimplikasi pada tanggung jawab negara untuk melaksanakan fungsinya dalam hak kesejahteraan. Hingga kini, persoalan ekonomi di Indonesia rata-rata bermuara pada persoalan kepadatan penduduk. Seperti, penyediaan lapangan kerja. Makin sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan makin besarnya pertumbuhan penduduk dan usia produktif di Indonesia. Hal ini tentu menjadi masalah ketika laju pertumbuhan lapangan kerja baru tidak seimbang dengan laju pertumbuhan pendudukan. Semakin kecilnya laju kematian penduduk turut pula mewarnai problematikan persoalan kependudukan di Indonesia. Yang pada akhirnya akan turunnya kualitas hidup, tingkat kemakmuran yang rendah, krisis pangan dan energy, harga hunian sehat yang mahal, angka kriminalitas tinggi, dan terhambatnya pembangunan nasional. Oleh sebab itu, perlu kesadaran semua pihak untuk turut membangun dan menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program pendidikan kependudukan yang sistematis. Sehingga, diharapkan masyarakat akan menyadari akan kondisi faktual negara dalam menangani persoalan kependudukan. Ide program KB dan dua anak lebih baik sudah cukup cemerlang, namun juga harus diimbangi dengan mengubah paradigma masyarakat akan banyak anak banyak rejeki. Pendidikan kependudukan diharapkan sejalan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia.





[1] Lihat data Badan Pusat Statistik data Survei Penduduk antar Sensus di http://bps.go.id
[2] Dalam pandangan modern nation state, kemiskinan menjadi salah satu pokok persoalan yang fundamental dalam sebuah negara. Hal ini tentu memiliki relasi yakni keseimbangan laju pertumbuhan penduduk dan optimalisasi kualitas sumber daya manusia.
[3] Data Hasil Penelitian Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina menyatakan bahwa HDI Indonesia berada pada posisi 111 dari 177 negara. Artinya, Indonesia masih menempati ‘negara miskin’ dalam arti kualitas pembangunan manusia Indonesia masih sangat rendah.
[4] Renstra Ditjen Dikmen 2013, Jumlah penduduk besar jelas menjadi potensi bagi pengembangan pasar domestik. Sejak 2010 usia produktif semakin besar, sehingga memungkinkan kesempatan untuk mendorong produktifitas. Generasi produktif yang berpendidikan dan berketerampilan baik akan menghasilkan generasi yang lebih sejahtera. Sebaliknya jika usia produktif ini tidak dikelola dengan baik, justru akan melahirkan bencana demografi. Usia produktif justru malah akan menjadi beban bagi negara.